Namun demikian, sebagaimana dilansir Business Insider, 26 Januari 2023, dalam laporannya bertajuk DoNotPay's CEO says threat of 'jail for 6 months' means plan to debut AI 'robot lawyer' in courtroom is on ice , bahwa “robot pengacara” aplikasi DoNotPay tidak akan hadir di pengadilan dalam waktu dekat.
Hal ini terjadi setelah CEO perusahaan itu Joshua Browder, seorang milenial berusia 19 tahun menyatakan bahwa dia mendapat ancaman akan dipenjara selama 6 bulan, jika ambisinya menggunakan aplikasi tersebut di ruang sidang dilaksanakan.
Browder sebelumnya berencana menguji aplikasi tersebut dalam sidang tilang lalu lintas pada bulan Februari.
Program AI DoNotPay secara diam-diam akan menasihati terdakwa melalui penutup telinga. Browder tidak mengungkapkan kasus atau tempat pada saat itu, mengutip sifat rahasia dari percobaan yang direncanakan.
Dilansir WUSF Public Media, Browder juga intinya masih berharap ini bukan akhir dan jalan buntu penerapan AI di ruang sidang.
Ia mengatakan bahwa sebenarnya banyak orang tidak mampu membayar pengacara. Hal ini bisa mengubah keseimbangan dan memungkinkan orang menggunakan platform seperti ChatGPT di ruang sidang yang mungkin bisa membantu mereka memenangkan kasus.
Masa depan “robot pengacara” menghadapi ketidakpastian. Di AS, merekam audio selama proses hukum secara langsung memang tidak diizinkan di pengadilan Federal dan seringkali dilarang di pengadilan negara bagian.
Bahwa 'robot pengacara' benar-benar membuat marah banyak pengacara. Browder kemudian mengatakan bahwa teknologi semakin maju dan aturan ruang sidang sudah sangat ketinggalan zaman.
Praktik di AS, terdapat badan pengatur di Negara Bagian yang berwenang memberi lisensi, menerapkan sanksi disiplin dan mengawasi para pengacara.
Hukum di berbagai negara juga mengatur siapa saja yang boleh berpraktik sebagai kuasa hukum di pengadilan.
Gagasan untuk bereksperimen dengan nasihat hukum bukanlah hal baru. Negara-negara bagian seperti Utah melonggarkan beberapa batasan untuk memungkinkan non-pengacara mencoba cara baru untuk memberikan layanan hukum.
Namun regulator mungkin masih perlu waktu lama untuk mempertimbangkan pengacara AI di pengadilan.
Fenomena ini tentu bisa merambah ke berbagai negara termasuk Indonesia. Dengan pengguna internet mencapai 212 juta orang lebih, dan dikenal sebagai negara yang sangat adaptif terhadap teknologi digital, maka hal ini perlu segera diantisipasi.
Penggunaan AI dalam berbagai sisi kehidupan, tanggung jawab atas akurasi serta dampaknya menjadi hal yang perlu dikaji dari berbagai sisi tidak saja teknologi, tetapi juga hukum.
Terkait proses beracara di pengadilan, hukum kita juga mengenal pembatasan-pembatasan siapa saja yang bisa menjadi kuasa hukum beserta segala formalitasnya.
Untuk dapat menjadi kuasa hukum di pengadilan dilakukan oleh Advokat, yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
UU ini secara tegas membatasi, bahwa kuasa hukum adalah orang, atau bisa ditafsirkan sebagai individu (natuurlijk persoon) yang tentunya tidak termasuk AI.
Di saat dunia memasuki Industry 5.0, dan transformasi digital menjadi sebuah keniscayaan, serta di sisi lain masyarakat banyak yang memerlukan jasa hukum yang terjangkau, maka platform digital pada saatnya akan menjadi perhatian. Para pakar hukum kita sudah saatnya mengkaji secara mendalam soal ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.