Bentangan Sesar Lembang sejauh 29 km yang selama ini lebih sering diperbincangkan terkait gempa megathrust, ternyata menyimpan potensi bencana lingkungan yang juga mengkhawatirkan, yaitu ketaktersediaan sumber air bagi warga di wilayah itu - dalam jangka yang akan sangat panjang.
Menurut Dr Heri, Sesar Lembang belum bisa disimpulkan dapat memunculkan megathrust karena masih menunggu data deformasi tanah dari alat deteksi yang belum bisa terpasang maksimal di sepanjang bentangannya.
Meski tak bisa dimungkiri, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar, yaitu Pasifik, Eurasia, dan Indo-Australia, yang akan berdampak terhadap tingginya potensi bencana.
Karena isu lingkungan hidup harus lebih diutamakan, maka rekan kami, Budi Skoy, lebih memilih menanam bambu di bantaran sungai. Dalam banyak kegiatannya selama ini, ia bolak-balik menyampaikan pesan berikut kepada siapa pun yang ia temui; "Menanam bambu memunculkan mata air, tidak menanam bambu memunculkan airmata."
Aksinya itu terinspirasi pepatah Sunda, yaitu buhun, gunung kaian (gunung ditanami kayu/pohon) dan gawir awian (tebing ditanami bambu).
Ada satu ancaman lain yang patut kita waspadai, yaitu laut yang permukaannya sudah mulai menenggelamkan beberapa wilayah di pesisir Pulau Jawa, seperti Semarang, Pekalongan, Subang, Bekasi, Banten, Indramayu, dan Karawang. Ibu Kota Jakarta termasuk salah satu wilayah yang akan merasakan dampak fenomena ini.
Sejak tsunami Aceh pada 2004, pemerintah mulai melirik beragam khazanah kearifan lokal.
Kecenderungan ini dilakukan setelah mengetahui bahwa tak ada satu pun korban jiwa di Simeulue, saat tsunami menerjang. Pasalnya, mereka sudah terbiasa mendengar dongeng tentang Smong: hempasan gelombang air laut yang berasal dari bahasa asli Simeulue, Devayan.
Seiring waktu berjalan, bermunculanlah penelitian terkait kearifan lokal tanggap bencana.
Masyarakat di Tatar (Paparan) Sunda memiliki warisan kebudayaan melimpah terkait mitigasi bencana yang bisa digali dan dipelajari. Di Jawa Barat contohnya, dikenal konsep tata wayah, tata wilayah, dan tata lampah dalam melakukan konservasi alam.
Tata wayah merupakan konsep etis dalam pengelolaan suatu wilayah berbasis dimensi waktu. Mengatur kapan suatu lahan atau alam bisa dimanfaatkan secara langsung, dan kapan tidak boleh dimanfaatkan secara langsung.
Hal itu terlihat dari aturan waktu musim yang digunakan petani, yang didasarkan pada kebiasaan nenek moyang sehingga menjadi patokan untuk mengolah lahan pertanian.
Tata wilayah menetapkan suatu area menjadi wilayah yang sakral seperti leuweung (hutan) gede atau leuweung larangan. Area ini tidak boleh sembarangan dimasuki oleh orang biasa. Ada waktu tertentu di mana wilayah ini baru bisa dimasuki oleh tetua atau pemuka masyarakat.
Sedangkan tata lampah berkaitan dengan apa yang harus dilakukan di sebuah wilayah, dan apa yang tidak boleh. Keduanya berfungsi untuk menjaga wilayah pemukiman, lahan pertanian-peternakan, dan hutan.
Rambu-rambu pemeliharaan alam Nusantara, dititipkan leluhur kita dalam serbaneka piranti. Jika berupa literasi, maka kita bisa menjumpainya dalam lontar, pantun, babad, mantra, jangjawokan, tembang, serta pepatah.