Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bumi Memanggil Manusia

Saat catatan ini kami tulis, Gunung Anak Krakatau baru saja meletus (5/1/2023). Muntahan abunya menjulang sampai ketinggian 3000 meter. Gunung yang tumbuh dari dalam lautan ini, berpotensi melahirkan tsunami berulangkali, seperti yang terjadi pada 2018 yang merenggut banyak nyawa saudara kita.

Di Sumatera, pada 7 Januari 2023, Gunung Merapi di Tanah Datar, Sumatera Barat juga melestus, menyemburkan kolom abu vulkanik setinggi 300 meter. Meski tidak membahayakan, mitigasi bencana tetap harus dikedepankan, demi mengurangi korban jiwa.

Mari kita tinggalkan sejenak ulasan terkait gunung berapi. Kita beralih pada kajian kebencanaan dari sisi lain.

Sebelum menjumpai Dr Heri Andrea  (pakar geodesi dari ITB) di Bandung, kami sempat mengangsu kawruh pada sepasang seniman legendaris di Kota Kembang, Toto Amsar Suanda dan Yoyoh Siti Mariah. Keduanya pasutri pegiat Tari Topeng Cirebon.

Di sela-sela diskusi hangat di kediaman mereka, sore itu mendadak kami tersadar ada awan besar yang di bagian bawahnya seperti garis lurus, membentang dari timur ke barat. Itulah pertama kami melihat awan berbentuk demikian.

Seorang kawan yang berprofesi sebagai dalang mengatakan, bahwa awan itu disinyalir sebagai penanda badai oleh para nelayan di Mandar, Sulawesi Barat.

Tak sampai lima menit dari penampakan awan tersebut, kami mendapat laporan bahwa di Penawangan, Ciamis, Jawa Barat, badai sedang mengamuk. Mendengar kabar itu, Toto Amsar terkejut bukang kepalang. Pasalnya, seumur hidupnya, baru kali inilah kampung tempat kelahirannya dilamun badai.

Sampai di sini, semoga Anda paham apa yang sedang kami maksud.

Ya, dua dasawarsa ke belakang, kita banyak mengalami peristiwa anomali alam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semburan lumpur di Sidoarjo, tanah bergerak yang menyertai gempa dan tanur memancar hingga mengakibatkan banjir (keduanya di Palu), bandang yang meluluhlantakkan Garut dan Banyuwangi, serta ratusan gempa susulan pasca sesar Cimandiri melumat Cianjur.

Banjir yang merendam 40 desa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, juga tak bisa kita anggap sepele. Sebab sangat terkait dengan bagaimana kita mengelola air dan resapannya.

Selain itu, kota-kota besar di Indonesia terancam kehabisan air dalam jangka waktu 30 tahun dari sekarang. Akar perkaranya lantaran penyalahgunaan air artesis yang membabi buta, penyusutan-pendangkalan situ dan hilangnya sumber mata air (bahkan ada yang sudah lenyap jadi pemukiman).

Di kitaran Bandung, penyedotan air sudah mencapai kedalaman 200 meter. Sementara cadangan air tanah hanya sampai di ambang 300 meter.

Padahal, pengisian air dari pegunungan dari seputaran Bandung, membutuhkan waktu puluhan tahun. Penjelasannya, air baru turun ke akuifer dengan kecepatan satu meter dari Gunung Manglayang dalam setahun. Begitu menurut paparan Dr Heri Andreas.

Akuifer adalah lapisan tanah yang mengandung air, di mana air bergerak di dalam tanah karena adanya ruang hantar butir-butir tanah.

Bentangan Sesar Lembang sejauh 29 km yang selama ini lebih sering diperbincangkan terkait gempa megathrust, ternyata menyimpan potensi bencana lingkungan yang juga mengkhawatirkan, yaitu ketaktersediaan sumber air bagi warga di wilayah itu - dalam jangka yang akan sangat panjang.

Menurut Dr Heri, Sesar Lembang belum bisa disimpulkan dapat memunculkan megathrust karena masih menunggu data deformasi tanah dari alat deteksi yang belum bisa terpasang maksimal di sepanjang bentangannya.

Meski tak bisa dimungkiri, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar, yaitu Pasifik, Eurasia, dan Indo-Australia, yang akan berdampak terhadap tingginya potensi bencana.

Karena isu lingkungan hidup harus lebih diutamakan, maka rekan kami, Budi Skoy, lebih memilih menanam bambu di bantaran sungai. Dalam banyak kegiatannya selama ini, ia bolak-balik menyampaikan pesan berikut kepada siapa pun yang ia temui; "Menanam bambu memunculkan mata air, tidak menanam bambu memunculkan airmata."

Aksinya itu terinspirasi pepatah Sunda, yaitu buhun, gunung kaian (gunung ditanami kayu/pohon) dan gawir awian (tebing ditanami bambu).

Ada satu ancaman lain yang patut kita waspadai, yaitu laut yang permukaannya sudah mulai menenggelamkan beberapa wilayah di pesisir Pulau Jawa, seperti Semarang, Pekalongan, Subang, Bekasi, Banten, Indramayu, dan Karawang. Ibu Kota Jakarta termasuk salah satu wilayah yang akan merasakan dampak fenomena ini.

Mitigasi Bencana dari Kearifan Lokal

Sejak tsunami Aceh pada 2004, pemerintah mulai melirik beragam khazanah kearifan lokal.

Kecenderungan ini dilakukan setelah mengetahui bahwa tak ada satu pun korban jiwa di Simeulue, saat tsunami menerjang. Pasalnya, mereka sudah terbiasa mendengar dongeng tentang Smong: hempasan gelombang air laut yang berasal dari bahasa asli Simeulue, Devayan.

Seiring waktu berjalan, bermunculanlah penelitian terkait kearifan lokal tanggap bencana.

Masyarakat di Tatar (Paparan) Sunda memiliki warisan kebudayaan melimpah terkait mitigasi bencana yang bisa digali dan dipelajari. Di Jawa Barat contohnya, dikenal konsep tata wayah, tata wilayah, dan tata lampah dalam melakukan konservasi alam.

Tata wayah merupakan konsep etis dalam pengelolaan suatu wilayah berbasis dimensi waktu. Mengatur kapan suatu lahan atau alam bisa dimanfaatkan secara langsung, dan kapan tidak boleh dimanfaatkan secara langsung.

Hal itu terlihat dari aturan waktu musim yang digunakan petani, yang didasarkan pada kebiasaan nenek moyang sehingga menjadi patokan untuk mengolah lahan pertanian.

Tata wilayah menetapkan suatu area menjadi wilayah yang sakral seperti leuweung (hutan) gede atau leuweung larangan. Area ini tidak boleh sembarangan dimasuki oleh orang biasa. Ada waktu tertentu di mana wilayah ini baru bisa dimasuki oleh tetua atau pemuka masyarakat.

Sedangkan tata lampah berkaitan dengan apa yang harus dilakukan di sebuah wilayah, dan apa yang tidak boleh. Keduanya berfungsi untuk menjaga wilayah pemukiman, lahan pertanian-peternakan, dan hutan.

Rambu-rambu pemeliharaan alam Nusantara, dititipkan leluhur kita dalam serbaneka piranti. Jika berupa literasi, maka kita bisa menjumpainya dalam lontar, pantun, babad, mantra, jangjawokan, tembang, serta pepatah.

Pisau bedahnya dengan Panca Curiga yang berarti lima titian ilmu; Sindir, Silib Siloka, Simbol, Sasmita, Sunyata. “Metodologi ini digunakan untuk membantu mengartikan dan memaknai sesuatu sehingga mudah dimengerti pembacanya.

Panca Curiga ini, juga biasa didampingi oleh Panca Niti, yaitu lima titian laku berupa Niti Harti, Niti Surti, Niti Bukti, Niti Bakti, dan Niti Sajati.

Ada pula dalam bentuk lingga-yoni atau arca. Ganesha misalnya. Masyarakat di beberapa daerah yang terdapat Ganesha di wilayah mereka, terutama di sekitaran tebing, meyakini bahwa arca itu memberitahu mereka bahwa tempat berdiam sang dewa pengetahuan, rawan longsor. Konsep ini berlaku bilamana arca gajah tidak berada dalam sebuah areal candi, tapi di ruang terbuka, seperti balai.

Ganesa juga ditempatkan pada daerah yang rawan terjadi bencana seperti gunung, sungai, bahkan area persawahan.

Dari sekian akumulasi bencana yang sudah terjadi, paling tidak kita bisa mendengar suara panggilan Ibu Bumi yang mengajak kita sebagai "anak-anak kandungnya," untuk menata ulang pola pikir, dan laku lampah hidup.

Kita tak bisa begini terus. Hentikan semua kegilaan mengeksploitasi alam dan merusaknya. Sengaja atau tidak. Jikalau kita tak segera berbenah dari sekarang, niscaya kita hanya mewariskan duka nestapa bagi generasi pelanjut Negeri Matahari.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/09/113522465/bumi-memanggil-manusia

Terkini Lainnya

KAI Sediakan Fitur 'Connecting Train' untuk Penumpang yang Tidak Dapat Tiket di Stasiun

KAI Sediakan Fitur "Connecting Train" untuk Penumpang yang Tidak Dapat Tiket di Stasiun

Tren
Daftar Dugaan Keterlibatan Keluarga SYL dalam Pencucian Uang, Digunakan untuk Skincare dan Renovasi Rumah

Daftar Dugaan Keterlibatan Keluarga SYL dalam Pencucian Uang, Digunakan untuk Skincare dan Renovasi Rumah

Tren
Daftar Keluarga Jokowi yang Terima Penghargaan, Terbaru Bobby Nasution

Daftar Keluarga Jokowi yang Terima Penghargaan, Terbaru Bobby Nasution

Tren
Benarkah Tidur di Kamar Tanpa Jendela Berakibat TBC? Ini Kata Dokter

Benarkah Tidur di Kamar Tanpa Jendela Berakibat TBC? Ini Kata Dokter

Tren
Ini Daftar Kenaikan HET Beras Premium dan Medium hingga 31 Mei 2024

Ini Daftar Kenaikan HET Beras Premium dan Medium hingga 31 Mei 2024

Tren
Ramai soal Nadiem Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris, Ini Kata Kemendikbud Ristek

Ramai soal Nadiem Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris, Ini Kata Kemendikbud Ristek

Tren
Media Korsel Soroti Pertemuan Hwang Seon-hong dan Shin Tae-yong di Piala Asia U23

Media Korsel Soroti Pertemuan Hwang Seon-hong dan Shin Tae-yong di Piala Asia U23

Tren
10 Ras Anjing Pendamping yang Cocok Dipelihara di Usia Tua

10 Ras Anjing Pendamping yang Cocok Dipelihara di Usia Tua

Tren
5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

Tren
Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Tren
PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

Tren
UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

Tren
Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Tren
Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Tren
Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke