KOMPAS.com - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja.
Perppu yang terbit dan berlaku mulai Jumat (30/12/2022) ini resmi menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Sejak terbitnya Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 2020 lalu, salah satu yang disorot adalah pekerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Pada Perppu Cipta Kerja, ketentuan terkait pekerja kontrak kembali tertuang. Lalu, seperti ketentuan pekerja kontrak menurut Perppu Cipta Kerja?
Baca juga: Aturan Terbaru Pesangon hingga Uang Penggantian Hak di Perppu Cipta Kerja
Salah satu ketentuan terkait PKWT atau pekerja kontrak tertuang dalam Pasal 58 Perppu Cipta Kerja.
Pasal 58 ayat (1) Perppu Cipta Kerja mengatur, PKWT tidak dapat mensyaratkan masa percobaan kerja.
Apabila ternyata ada masa percobaan kerja, maka masa percobaan itu batal demi hukum dan tetap dihitung sebagai masa kerja.
Selanjutnya, Pasal 59 ayat (1) Perppu Cipta Kerja mengatur, PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifatnya maupun kegiatan pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu.
Baca juga: Serikat Buruh Tolak Ketentuan PKWT di Perppu Cipta Kerja
Pekerjaan yang dapat diisi dengan karyawan PKWT tersebut, antara lain:
Merujuk Pasal 59 ayat (2), PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Baca juga: Aturan Hari dan Jam Kerja di Perppu Cipta Kerja
Ayat selanjutnya mengatur, PKWT yang tidak memenuhi ayat (1) maupun (2) demi hukum akan menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Adapun ketentuan terkait jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas perpanjangan PKWT, masih akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara itu, berakhirnya perjanjian kerja antara pekerja dan pemberi kerja atau pengusaha tertuang dalam Pasal 61 Perppu Cipta Kerja.
Pasal tersebut merinci bahwa perjanjian kerja akan berakhir apabila:
Perppu Cipta Kerja mengatur, perjanjian kerja tidak berakhir karena pengusaha meninggal dunia maupun ada peralihan kepemilikan, baik melalui penjualan, pewarisan, atau hibah.
Apabila terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak pekerja atau buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru.
"Kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak Pekerja/Buruh," tulis Pasal 61 ayat (3).
Baca juga: Perppu Cipta Kerja: Rumus Upah Minimum Bisa Diubah dalam Kondisi Tertentu