Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Tragedi Kanjuruhan, New York Times Sebut Polisi Kurang Terlatih Kendalikan Massa dan Tidak Pernah Dimintai Pertanggungjawaban

Kompas.com - 04/10/2022, 16:00 WIB
Rizal Setyo Nugroho

Penulis

 

Polisi setelah reformasi

The New York Times juga menuliskan, polisi di Indonesia sebelumnya tidak pernah "sehebat atau sekejam" ini sebelumnya.

Selama tiga dasawarsa pemerintahan Soeharto, militer dipandang sangat berkuasa.

Namun, setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, sebagai bagian dari serangkaian reformasi, pemerintah menyerahkan tanggung jawab keamanan internal kepada polisi, memberikan kekuatan yang sangat besar kepada kepolisian.

Dalam banyak kasus, petugas polisi memiliki keputusan akhir tentang apakah suatu kasus harus dituntut.

Menerima suap adalah hal biasa, kata para analis, dan setiap tuduhan pelanggaran polisi diserahkan sepenuhnya kepada pejabat tinggi untuk diselidiki. Sebagian besar waktu, kelompok hak asasi mengatakan, mereka tidak melakukannya.

Wirya Adiwena, Wakil Direktur Amnesty International Indonesia, mengatakan, “hampir tidak pernah ada” pengadilan atas penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan kecuali pada 2019, ketika dua mahasiswa tewas di Pulau Sulawesi selama protes.

Pada tahun 2018, polisi antihuru-hara menembakkan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, Malang, ketika terjadi kekerasan dalam pertandingan yang melibatkan tim tuan rumah, Arema.

Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun meninggal beberapa hari kemudian. Tidak ada laporan apakah ada penyelidikan atas kematiannya atau bagaimana polisi menangani kerusuhan itu.

Baca juga: Ini Susunan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Kanjuruhan

Penyelidikan Tragedi Kanjuruhan

Sekarang, pihak berwenang berencana untuk menyelidiki apa yang salah pada hari Sabtu, ketika ribuan pendukung berkumpul di Malang untuk melihat Arema menjamu Persebaya Surabaya.

Setelah Arema mengalami kekalahan mengejutkan, beberapa fans berlarian ke lapangan. Polisi kemudian menembakkan gas air mata, kata saksi mata.

Pada Minggu, Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta mengatakan, polisi telah mengambil tindakan sesuai prosedur. Dia mengatakan bahwa gas air mata telah dikerahkan "karena ada anarki," dan bahwa penggemar "akan menyerang petugas dan merusak mobil."

Sebagai tanda bahwa Polres Malang telah berupaya mengantisipasi aksi kekerasan tersebut, pihaknya meminta pihak penyelenggara untuk memundurkan pertandingan menjadi pukul 15.30 WIB.

“Demi pertimbangan keamanan,” demikian surat yang beredar di dunia maya dan isinya dikonfirmasi oleh Polda Jatim kepada The New York Times.

Slot pertandingan di waktu yang lebih awal, menurut pemikiran itu, akan membuat acara lebih ramah keluarga.

Rekomendasi aktivis kepada polisi

Banyak aktivis HAM mengatakan bahwa untuk meningkatkan upaya penegakan hukum, mereka secara konsisten membuat rekomendasi ini kepada polisi: Jangan langsung ambil gas air mata; jangan langsung mengayunkan tongkat pada orang; memahami bagaimana mengendalikan orang banyak dan meredakan konflik.

“Prosedur operasi standarnya jangan sampai polisi loncat dari nol ke 100,” kata Wirya, dari Amnesty International Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com