Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rully Raki
Dosen

Pemerhati Sosial dan Pembangunan

Masyarakat Lokal di Tengah Pusaran Pembangunan Pariwisata

Kompas.com - 26/09/2022, 14:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DESEMBER 2021, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengunjungi Flores-Nusa Tenggara Timur (NTT). Sandiaga meninjau sejumlah desa wisata di wilayah Ende dan Manggarai. Desa-desa itu menjadi juara di tingkat nasional.

Sebagai orang lokal, saya tertarik dengan beberapa hal yang dilakukan Sandiaga. Ketika itu, Sandiaga mengenakan baju tenun daerah. Dia jogging di sekitar Museum Bung Karno di Ende.

Di Manggarai, Sandiaga membeli gelang kopi dan minum kopi orang lokal. Sandiaga juga berfoto dan memberikan pendapat di media tentang tumbuhnya pariwisata NTT.

Aksi Sandiaga secara tidak langsung mengiklankan usaha kreatif warga lokal dan merupakan bentuk dukungan bagi tumbuhnya pariwisata di tengah pandemi Covid-19.

Pendekatan keliru

Di sisi lain, pendekatan-pendekatan pembangunan pariwisata yang dilakukan pemerintah tak jarang menuai persoalan.

Beberapa contoh dari tiga tahun terakhir antara lain konflik warga dan pemerintah terkait hutan adat Pubabu tahun 2020, konflik lahan yang direncanakan untuk dijadikan peternakan sapi di Sumba tahun 2021. Terakhir terkait rencana naiknya harga tiket masuk Taman Nasional Komodo tahun 2022.

Serangkaian persoalan itu memunculkan pertanyaan. Apakah masyarakat lokal tidak mau disentuh pembangunan? Bagaimanakah caranya agar masyarakat lokal tidak tereliminasi di tengah pusaran pembangunan?

Persoalannya ada pada pendekatan yang digunakan pemerintah. Kita lihat kasus tentang rencana kenaikan harga tiket masuk Taman Nasional Komodo.

Baca juga: Meluruskan Kebijakan Tarif Masuk Taman Nasional Komodo

Dalam kasus itu tersurat ambisi pemerintah untuk menjadikan Taman Nasional Komodo sebagai destinasi super premium. Term itu tentu akan berdampak pada pengelolaan lokasi wisata yang tidak main-main, yang akan melibatkan pemodal besar dan berpengalaman demi mendapatkan profit maksimal.

Pendekatan pembangunannya bergaya top-down. Pengambil kebijakan dan pelaksana proyek memegang komando utama dalam menjalankan pembangunan.

Model pembangunan top-down itu menutup pintu bagi pengembangan pariwisata berbasis pemberdayaan masyarakat lokal. Yang ada adalah monopoli dan kapitalisasi atas aset-aset lokal.

Cepat atau lambat hal itu akan berujung pada marginalisasi serta eliminasi peran dan gerak ekonomi kreatif penduduk lokal.

Dalam pendekatan pembangunan seperti itu, tentu ada kelompok tertentu di dalam masyarakat yang merasakan merasakan keuntungan.

Namun tepat pada titik itu persoalan paling krusial mencuat. Masyarakat dalam jumlah paling banyak, yang hidup serta mengais rezeki dari alam dengan berbagai potensinya, justru menjadi orang yang paling sedikit mendapatkan dan sulit mengoptimalkan pentensi itu untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan hidup mereka.

Masyarakat NTT, seperti juga di daerah-daerah tambang di negeri ini, cukup kenyang dengan pengalaman ini. Investor yang datang, dengan intervensi dan tingkat lobi yang mumpuni, mampu memengaruhi pemerintah untuk menyetujui proyek mereka.

Bukan hanya itu, masyarakat lokal dipecah dalam kelompok-kelompok kepentingan dan saling melawan tentang aktivitas tambang atau pembangunan. Setelah material tambang habis dikeruk dari perut bumi, misalnya, investor pergi dengan meninggalkan kerusakan alam dan  keretakan hubungan sosial di antara masyarakat lokal.

Masyarakat akan selalu jadi pihak yang buntung dalam persoalan-persoalan seperti itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Tren
BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

Tren
Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Tren
Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Tren
Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Tren
Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Tren
5 Potensi Efek Samping Minum Susu Campur Madu yang Jarang Diketahui

5 Potensi Efek Samping Minum Susu Campur Madu yang Jarang Diketahui

Tren
5 Penyebab Anjing Peliharaan Mengabaikan Panggilan Pemiliknya

5 Penyebab Anjing Peliharaan Mengabaikan Panggilan Pemiliknya

Tren
8 Fakta Penggerebekan Laboratorium Narkoba di Bali, Kantongi Rp 4 Miliar

8 Fakta Penggerebekan Laboratorium Narkoba di Bali, Kantongi Rp 4 Miliar

Tren
UPDATE Banjir Sumbar: 50 Orang Meninggal, 27 Warga Dilaporkan Hilang

UPDATE Banjir Sumbar: 50 Orang Meninggal, 27 Warga Dilaporkan Hilang

Tren
Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Tren
Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com