Pram memandang hubungan Yogya—Blora selamanya bersifat politik; mulai dari wayang hingga sejarah (Mangir, Ratu Kidul, dan Sultan Agung). Mula-mula, Yogya terbangun kala heroisme Blora diluruhkan. Hutan Mentaok yang menjadi alas awal Mataram dan kini menjadi wilayah kekuasaan awal Yogyakarta tiada lain adalah hadiah ketika pembangkang liat dari Blora, Arya Penangsang, dihancurkan oleh dua juru taktik andal: Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani.
Dan, pembaca, saya tinggal justru di Purwomartani (Sleman) di mana salah satu juru taktik perang penakluk Blora namanya terpahat. Namun, saya tidak datang dengan menadah nampan yang membuat Blora menangis, tetapi seperti kata tokoh “Bunda”, saya menawarkan bambu (musik) yang membuat (Blora) bernyanyi.
Blora memang kaya dengan jati. Tapi, jati diri Blora juga patri yang terpahat dari kata-kata. Sebuah kota yang dibayangkan oleh pembaca sastra dunia menyimpan kompleksitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi.
Blora dalam Cerita dari Blora adalah dunia sendiri yang karikatural di mana dari sumur kata-kata itu kita bisa merayakan masa depan yang baru bagi Blora. Bukan hanya “Bunda” yang optimistis bahwa Blora adalah nyanyian, tetapi juga Blora bisa menjadi tujuan pelancong dunia, sebagaimana kota-kota yang memiliki sejarah panjang yang teringat kuat.
Music tourism yang selama ini saya rancang dan bangun secara serius yang menjadi pondasi cakar Rajawali Indonesia bisa menjadi pintu masuk merayakan “(Bambu) Blora Bernyanyi”.
Semua prasyarat obyektif itu ada di Blora, selain, tentu saja, karena saya memiliki keterikatan yang emosional dengan Pramoedya Ananta Toer dan keluarganya. Belum lagi, pada 2018, MocoSik, sebuah festival buku dan musik yang saya helat, mengangkat Pram dan Bumi Manusia sebagai tema besar utama dengan menghadirkan keluarga besar Pram.
Lewat kata-kata, Pram memperkenalkan Blora dalam segala aspek sosial yang melingkupi masyarakatnya; lengkap dengan daya juang berkobar dan kegetiran tokoh-tokohnya. Kini, Blora bisa kita rayakan kembali lewat musik yang berkonsep music tourism.
Dengan wisata berbasis musik, bukan hanya Blora yang bergembira, tetapi menggeliatkan ekonomi kota dan kabupaten di sekitarnya, seperti Jepara, Demak, Rembang, Tuban, dan Bojonegoro. Tanah dan riwayat kota-kota itu, kita tahu, juga menjadi inspirasi Pram dalam berkarya.
Dari rumah kata-kata Pram di pinggiran Kali Lusi, Jepara terhubung lewat Panggil Aku Kartini Saja. Demak dan Tuban berdetak dalam epos Arus Balik. Bojonegoro terkerek lewat Bumi Manusia. Dan, Rembang yang tersaksi secara sublim dalam Gadis Pantai.
Pada akhirnya, dari kata-kata Pram, Blora kita bisa rayakan di kekinian dengan perhelatan musik internasional.
Di tiap-tiap lebaran ayah membeli mercon segerobak. Aku dan adikku yang kecil dan bunda dan anak-anak angkat orangtua kami mendapat baju baru dan uang dari ayah. Mercon dibakari dan pecahannya bersebaran di pelataran. Anak-anak para tetangga datang merubungi mercon yang akan diledakkan. Dan bukan main gembiraku di hari-hari lebaran seperti itu.
Saya tidak tahu, metafora “mercon segerobak” dari Pram itu bagaimana mewujudkannya dalam dunia kita saat ini. Bisa jadi sebentuk musik rock yang “meledak” dan membuat semua anak-anak bangsa bergembira. Tunggu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.