Seiring meningkatnya waktu penggunaan internet, otomatis para penjelajah online ini akan semakin banyak terpapar iklan digital. Di sisi lain, utilisasi teknologi periklanan programmatik oleh para pengiklan yang meningkat pesat dengan segala kompleksitasnya menuntut pemilik media digital untuk terus menambah jumlah inventori iklan per halaman untuk menjaga pertumbuhan bisnis.
Bisa dibayangkan berapa ribu iklan yang memapar pengguna internet setiap harinya. Hal itu pula yang menyebabkan frustasi para pengguna internet sekaligus membangun asosiasi negatif terhadap brand atau produk dalam iklan digital konvensional seperti banner atau iklan dalam video.
Survei dari Hubspot menemukan bahwa 57 persen partisipan tidak menyukai iklan yang muncul sebelum konten video dimulai (pre-roll) dan 43 persen dari mereka sama sekali tidak akan melihat iklan tersebut.
Sementara itu sebuah laporan dari MarketingSherpa menyebutkan bahwa setengah dari konsumen yang disurvei sering atau selalu menonton iklan televisi dan membaca iklan cetak dari perusahaan/brand yang mereka sukai.
Survei MarketingSherpa yang sama menyebutkan bahwa konsumen paling memercayai iklan cetak (82 persen), disusul oleh iklan televisi (80 persen) dan radio (71 persen).
Data tersebut dapat menjadi indikator kuat untuk para pengiklan bahwa untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan sebuah brand, media tradisional masih memegang peranan penting.
Dengan menghilangnya cookie tracker dari browser internet akibat gencarnya kampanye perlindungan data pribadi secara global, maka kemampuan teknologi periklanan digital untuk melakukan precision targeting dan personalized experience akan menurun tajam.
Kondisi tersebut akan mengembalikan metode penargetan iklan dengan pendekatan segmentasi di mana cara tersebut sudah dilakukan oleh media tradisional selama puluhan tahun.
Hal ini pula yang lalu membuat para marketer kembali melirik media tradisional tentunya dengan pendekatan-pendekatan baru. The CMO Survey menunjukan 19,8 persen dari marketer global akan meningkatkan belanja iklan media tradisional sebagai respons dari perubahan baru ini.
Kita semua mengerti betul bahwa transformasi digital bagi dunia bisnis tidak dapat dihindari. Perusahaan-perusahaan media tradisional pun dalam satu dekade terakhir ini terlihat menyambut dengan tangan terbuka. Pengembangan aset-aset digital dari media tradisional sudah menjadi kewajiban industri baik sebagai perpanjangan distribusi media inti seperti kanal Youtube, akun media sosial dan email marketing maupun pengembangan media digital yang lebih native dirancang sesuai habitat digital konsumennya contohnya Kompas.com yang lahir dari media cetak harian Kompas.
Usaha-usaha integrasi aset-aset digital dari media berbasis tradisional ini sudah sering dilakukan baik oleh pemasang iklan, pemilik media maupun agensi periklanan. Namun dampak keseluruhan usaha tersebut masih sulit diukur dengan baik akibat belum tersedianya sistem pengukuran multi-platform yang terintegrasi.
Perlu usaha serius para pemangku kepentingan industri periklanan untuk mendorong terciptanya pengukuran terintegrasi multi-platform yang standar dan diakui semua pihak demi kemajuan dan pertumbuhan bersama.
Dari poin-poin di atas kita dapat melihat bahwa penggunaan teknologi bukan solusi absolut dari permasalahan dan tantangan dalam industri periklanan. Penggunaan teknologi yang berlebihan bahkan bisa menjadi bumerang yang berdampak buruk bagi brand dan bagi industri itu sendiri.
Teknologi periklanan seharusnya diposisikan sebagai alat bukan tujuan utama, karena ketika kita menyerahkan seluruh operasional aktivitas periklanan pada teknologi saja maka iklan-iklan tersebut menjadi “dingin” karena performa iklan hanya dilihat dari angka-angka statistik engagement semata.
Iklan-iklan digital retargeting dan hyper-targeting yang dioperasikan teknologi menurut sebuah survei dari Science Direct bahkan dapat menimbulkan respons reaktansi atau penolakan terutama ketika konsumen tidak familiar dengan brand dalam iklan tersebut.