Oleh: Winda Widya Hasanah dan Riana Sahrani*
HARI Raya Idul Fitri atau biasa kita sebut Lebaran merupakan hari kemenangan dan penuh berkah khususnya untuk umat Muslim.
Setelah beberapa tahun terakhir situasi pandemi menyebabkan masyarakat harus membatasi interaksi sosial dan tidak bisa merayakan Lebaran seperti biasanya, namun pada Lebaran tahun 2022, akhirnya masyarakat dapat kembali mudik ke kampung halaman dan berkumpul dengan kerabat terdekat.
Pada hari Lebaran, tradisi ‘halalbihalal’ pasti akan dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Biasanya orang saling mengunjungi kerabat terdekatnya, atau sekadar mengirim ucapan dan mengucapkan permintaan maaf pada satu sama lain.
Tradisi masyarakat Indonesia untuk saling meminta maaf merupakan simbol kemenangan umat Islam setelah sebulan berpuasa dan berusaha untuk kembali suci dengan memaafkan satu sama lain.
Demi menjadikan tradisi saling memaafkan ini menjadi perilaku yang benar-benar kita terapkan dalam kehidupan, mari kita pahami apakah memaafkan dan bagaimana manfaatnya.
Kita coba lihat memaafkan dalam sudut pandang ilmiah, topik memaafkan atau dalam literatur lebih sering disebutkan dalam istilah forgiveness.
Topik ini mulai marak sejak tahun 1998, yang menjadikan penelitian tentang bagaimana forgiveness dan spiritualitas berhubungan satu sama lain, telah berkembang belakangan ini.
Lawler pada tahun 2005 dalam Journal of Behavioral Medicine, mendefinisikan forgiveness sebagai respons kognitif, emosional, dan perilaku terhadap konflik interpersonal dan telah dikaitkan dengan indeks kesehatan mental dan fisik.
Menurut Davis pada tahun 2012, dalam jurnal Psychology of Religion and Spirituality, forgiveness terjadi karena individu percaya bahwa jika mereka tidak memaafkan, maka hal ini akan merusak hubungannya dengan Tuhan, atau hal ini merupakan salah satu perintah agama.
Lijo pada tahun 2018, dalam journal of psychology & psychotherapy menyebutkan bahwa ketika individu mendapatkan perilaku tidak adil atau tidak menyenangkan dari orang lain, individu akan mengembangkan berbagai tanggapan dalam menghadapi masalah interpersonal tersebut dengan pembalasan aktif atau pasif, dan menyimpan dendam.
Reaksi negatif terhadap pelaku dan menolak untuk memaafkan juga mungkin dipelajari sebagai bagian dari kebutuhan bertahan hidup atau kebutuhan kekuatan manusia.
Forgiveness adalah kualitas individu yang mencari pertumbuhan untuk dirinya sendiri. Individu sebagai manusia memiliki kapasitas untuk memilih forgiveness, bukan reaksi negatif terhadap pelaku yang berbuat salah.
Pargament dan Rye pada tahun 2022 dalam jurnal American Psychological Association menyebutkan forgiveness merupakan strategi koping religius transformasional yang dapat menawarkan alternatif menarik dan efektif untuk menghadapi peristiwa tidak adil yang terjadi dalam hidup.
Forgiveness melibatkan kesediaan untuk mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku negatif terhadap pelaku, sehingga menjadi perspektif lebih damai, yang mencakup kemanusiaan, berempati, dan menilai kembali.