Perlu diingat bahwa ini bukan pertanyaan mengapa situasi itu terjadi, melainkan, mengapa kita merasa seperti ini tentang apa yang telah terjadi.
Kedua, let go of the alternative edings to the story. Ketika peristiwa menyulikan terjadi, kita cenderung menafsirkan dalam pikiran kita sebuah cerita yang memiliki alternatif lain dari yang sebenarnya kita alami.
Tugas kita adalah untuk berhenti melakukan itu. Semakin mampu kita menyelaraskan harapan kita dengan kenyataan hidup kita, semakin sedikit kita mengalami perasaan tidak menyenangkan akan peristiwa yang terjadi.
Apa yang terjadi, telah terjadi. Forgiveness merupakan penerimaan apa adanya, dan pelepasan akhir alternatif.
Kita berusaha untuk memandang ke depan dengan wawasan dan kebijaksanaan yang telah diajarkan oleh pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang pelaku, dan kemauan untuk memulai cerita baru.
Ketiga, develop a compassionate story of the other. Mengetahui, atau setidaknya mencoba untuk melihat mengapa seseorang melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain, dan mengakui sisi kemanusiaan mereka, membuat kita lebih mudah untuk melepas pikiran kebencian dan dendam yang kita miliki.
Kita bisa dan harus mulai dengan small forgiveness, misalnya, saat di jalan pengendara lain menyalip kita.
Saat hal itu terjadi, kita bisa berkata pada diri sendiri, “Wow! Orang itu sangat terburu-buru. Saya bertanya-tanya apa yang terjadi dalam hidupnya yang membuat dia membahayakan dirinya dan orang lain.”
Semakin banyak kisah welas asih yang dapat kita buat untuk lebih memahami mengapa atau bagaimana orang tersebut berperilaku, semakin mudah untuk diri kita bereaksi positif pada peristiwa yang terjadi.
Keempat, share your forgiveness story as appropriate. Membagikan atau menuliskan cerita forgiveness adalah salah satu variasi dalam menciptakan kerangka positif dari peristiwa dan keadaan yang merugikan yang kita rasakan.
Tubuh kita dirancang untuk menghargai kita karena mendengarkan dan berhubungan dengan cerita.
Beberapa manfaat dari bercerita, yaitu dari segi biologis adanya sintesis oksitosin, bersifat internal, membuat peserta lebih bahagia, dan secara eksternal, mempromosikan kerja sama dan perilaku prososial.
Tidak kalah penting adalah kita dapat memaafkan diri sendiri, forgiveness atau memberikan pengampunan pada kesalahan dan kelemahan diri kita.
Apabila kita dapat menerapkan semua ini maka hidup kita menjadi lebih damai, yang terpancar dalam diri kita. Semoga.
*Winda Widya Hasanah, Mahasiswa Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara
Riana Sahrani, Dosen Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.