Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak dan Tepatkah Keputusan Pemerintah Naikkan Harga Pertamax Jadi Rp 12.500-13.000/Liter?

Kompas.com - 02/04/2022, 17:25 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax mulai 1 April 2022.

Harga BBM dengan RON 92 itu naik dari sekitar Rp 9.000-Rp 9.400 per liter jadi Rp 12.500-13.000 per liter di 34 provinsi di Indonesia.

Sementara itu, untuk BBM subsidi seperti Pertalite tidak mengalami perubahan harga atau ditetapkan stabil di harga Rp 7.650 per liter.

Adapun porsi konsumsi BBM subsidi mencapai 83 persen, sedangkan porsi konsumsi Pertamax hanya 14 persen.

Lantas, apa saja dampak, dan tepatkan keputusan pemerintah menaikkan harga Pertamax jadi Rp 12.500-13.000 per liternya?

Baca juga: Daftar Harga Terbaru Pertamax dan Pertalite di Seluruh Indonesia per 1 April 2022

Dampak kenaikan harga Pertamax

Direktur Center Of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan, ada sejumlah dampak dari kenaikan harga Pertamax jadi Rp 12.500-13.000 per liter.

Menurut dia, dampak yang pertama akan dirasakan oleh masyarakat kelas menengah.

"Kelas menengah yang biasa menggunakan Pertamax akan turun kelas ke Pertalite," ujar Bhima, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (2/4/2022).

Migrasi ini, lanjutnya, bisa mengakibatkan gangguan pada pasokan Pertalite, yang berujung kelangkaan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Kemudian, dampak yang kedua, yakni terkait penjualan kendaraan bermotor.

"Keputusan konsumen untuk membeli mobil, khususnya di atas 1.500 cc akan terpengaruh dengan naiknya harga BBM jenis nonsubsidi," kata dia.

Dengan ini, sebut Bhima, momentum mudik yang biasanya penjualan mobil mengalami kenaikan, diprediksi masyarakat akan beralih ke transportasi umum dibanding memiliki mobil pribadi.

Lebih lanjut, dampak lainnya adalah konsumsi rumah tangga akan tergerus harga Pertamax sehingga mengurangi pembelian barang lainnya.

"Ini efeknya sampai ke omset barang elektronik, pakaian jadi bisa terganggu," terang Bhima.

Baca juga: Ramai soal Toilet di SPBU Jadi Ajang Pungli Kencing Bayar Rp 2.000, Ini Kata Pertamina

Tepatkah kenaikan harga Pertamax?

Bhima berpendapat, idealnya kenaikan harga Pertamax masih bisa ditahan.

Menurut dia, saat harga minyak dunia turun di kisaran 20 dollar AS per barel pada 2020, pemerintah tidak menurunkan harga Pertamax.

Pertamina bahkan tercatat membukukan untung sebesar Rp 15,3 triliun pada periode yang sama.

"Artinya, kompensasi masyarakat membayar Pertamax saat itu bisa digunakan untuk menahan selisih harga keekonomian dan harga jual Rp 9.000 per liter," ujar dia.

 

"Di sisi yang lain apabila Pertamina merasa tertekan cash flow-nya, bisa minta dana kompensasi dan pembayaran piutang ke APBN," sambung Bhima.

Pasalnya, saat ini pemerintah tengah mendapatkan windfall imbas kenaikan penerimaan negara dari ekspor komoditas, khususnya batubara dan sawit.

Sehingga, dana tersebut bisa dialihkan untuk menahan kenaikan harga BBM.

"Ini dilakukan agar daya beli tidak tertekan dan pemulihan ekonomi bisa lebih solid," tutup Bhima.

Baca juga: Viral soal Warga Panen Raya Minyak dari Pipa Bocor, Pertamina: Itu Tak Bisa Digunakan untuk Kendaraan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com