Perusahan-perusahan gas alam, batu-bara dan minyak meraup untung sangat besar dan mengendalikan cadangan-cadangan SDA hingga produksi industri di berbagai negara. Kini enam dari perusahan papan atas kapitalis fosil dari sektor minyak dan gas (Fortune, 2019) termasuk dalam daftar 500 perusahan paling kaya di dunia. Hasil riset Wilson et al. (2017)
menyebut bahwa jaringan ke-6 perusahan ini mampu memengaruhi dan mengendalikan
pola hubungan budaya, ideologis, politik, dan ekonomi masyarakat berbagai negara.
Mengapa kapitalisme fosil begitu perkasa? Alasannya, menurut Boyer (2014) dan Unruh (2000), mata-rantai korporasi kapitalis fosil mengontrol produksi, keahlian sumber daya manusia (SDM), informasi, infastruktur, jaringan ekonomi, IPTEK, dan jaringan sosial masyarakat.
Szabo (2021:94) bahkan menyebut kekuatan kapitalisme fosil mengendalikan basis-basis SDA, infrastruktur pipanisasi, legal-teknis produksi, distribusi, perdagangan, geopolitik, dan ideologi pada berbagai zona dunia. Maka isu geopolitik energi menjadi penting, sebab akumulasi kapital fosil mensyaratkan stabilitas kawasan.
Namun, akhir-akhir ini, oposisi terhadap kapitalisme fosil meningkat di berbagai negara. Alasannya, masyarakat global berupaya beralih ke sistem energi ramah-lingkungan atau de-karbonisasi (Scrase et al., 2009).
Namun, upaya peralihan ke sistem energi karbon rendah atau zero-emisi-karbon, membutuhkan modal dan IPTEK. Di sisi lain, kapitalisme fosil masih gigih menawarkan keuntungan ke para pemegang rezimnya dan menciptakan ketergantungan masyarakat pada energi fosil kini dan masa datang.
Mengapa ekstraksi SDA (kapitalisme fosil) memicu risiko konflik atau perang? Sebab ekstraksi SDA memicu perubahan skala dan geografi aliran fisik, misalnya peralihan karbon skala besar dari stok litosfer ke atmosfer akibat pembakaran batu-bara, minyak, dan gas. Berikutnya, ekstraksi SDA memicu perubahan organisasi dan geografi kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat (Foster 1999, Clark et al., 2005).
Tidak seperti sumber energi dari angin, air atau matahari, bahan bakar fosil dapat diproduksi dan mobile sesuai pilihan dan kepentingan pemilik modal yang memungkinkan pemusatan produksi secara geografis. Ekstraksi SDA juga menciptakan pemusatan modal, teknologi, dan infrastuktur hingga kendali harga skala besar. Dari sini pula bibit-bibit konflik antara lain risiko bencana-geopolitik.
Baca juga: Warga Berbaris 7 Kilometer, Unjuk Rasa Tolak Monopoli Gas Rusia
Bubarnya imperium Uni Soviet tahun 1991 seakan membawa harapan baru bagi negera-negara sumber-sumber energi fosil dunia. Sehingga negara-negara eksportir minyak (OPEC) tidak lagi memegang kendali pasar bahan bakar fosil. Potensi hidrokarbon dari zona Laut Kaspia, misalnya, dapat meningkatkan keamanan pasokan energi dan aliran investasi ke produksi bahan bahar di zona-zona bekas Uni Soviet, khususnya Rusia.
Kolaborasi Amerika Serikat (AS) dan Rusia dalam perang melawan terorisme pasca-tragedi serangan teror ke World Trade Center (WTC) dan Departemen Pertahanan AS (Pentagon) tahun 2001, sekilas memompa prospek zona Rusia dkk menggantikan posisi OPEC sebagai pemasok bahan bakar fosil dunia. Sehingga negara-negara bekas Uni Soviet berupaya menjadi mitra perusahan minyak asal AS atau negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Pilihannya antara lain cadangan hidrokarbon di zona Laut Kaspia (Labban, 2009).
Namun, melalui badan usaha milik negara (BUMN), Rusia memperkuat kontrol negara terhadap sektor migas.
AS menyerang Irak tahun 2003. Akibatnya, sektor hulu migas Rusia tertutup bagi korporasi minyak asal Eropa Barat dan AS (NATO). Di sisi lain, Rusia menjalin mitra dengan negara-negara OPEC guna mengendalikan pasar. Bahkan sasarannya antara lain pembentukan kartel gas alam.
Saat ini, migas ibarat arteri atau nadi ekonomi Rusia. Rusia adalah produser minyak ke-3 terbesar dunia, setelah Arab Saudi dan AS. Uni Eropa selama ini mendapat pasokan sekitar 40 persen gas Rusia; AS mengimpor 3 persen minyak dari Rusia; Inggris mengimpor sekitar 6 persen dari minyak Rusia (Milman, 2022). Karena itu, AS dan Uni Eropa menghentikan pasokan bahan bakar fosil (minyak dan gas) dari Rusia, untuk membekukan mobilitas mesin perang Rusia dalam perang melawan Ukraina.
AS melobi Venezuela agar menaikkan produksi minyak sekitar 400 ribu barel per hari. Sehingga Venezuela memproduksi 1,2 juta barel minyak per hari yang dapat menggantikan pasokan minyak dari Rusia. Namun, Venezuela sulit pada jangka pendek mengisi kebutuhan bahan bakar fosil Uni Eropa. Alasannya, tulis Harvey, Uni Eropa bergantung pada pasokan sekitar 40 persen gas alam dari Rusia per tahun.
Kini negara-negara Uni Eropa merasakan risiko ketergantungan pada gas Rusia. Apalagi usai pandemi Covid-19 dan kebijakan lock-down berbagai negara, terjadi lonjakan harga gas dunia. Maka pipanisasi gas Nord Stream 2 dari Rusia melalui zona Baltik ke Jerman makin memicu konflik. Sebab inagurasi Nord Stream 1 -pipanisasi gas dari Rusia ke Eropa
Barat- dihadiri oleh para pimpinan kunci Uni Eropa misalnya Jerman, Perancis, dan Belanda.
Baca juga: China Bebas Dari Energi Fosil Tahun 2060, Indonesia Kapan?
Nord Stream 1 tidak melanggar Energy Treaty Charter, khususnya lingkungan, militer, jalur
tradisional distribusi bahan bakar fosil, dan keamanan Eropa.