Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gempa Sering Mengguncang Indonesia, Ini Jawabannya!

Kompas.com - 15/03/2022, 13:03 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Rentetan gempa bumi mengguncang sejumlah wilayah Indonesia pada awal Maret 2022.

Terbaru, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengabarkan, gempa berkekuatan magnitudo M 3,9 mengguncang Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Selasa (14/3/2022) pukul 21.15 WIB.

Sebelum itu, masih pada hari yang sama, gempa tektonik bermagnitudo M 6,9 mengguncang wilayah Pantai Selatan Nias Selatan, Sumatera Utara pukul 04.09 WIB.

Gempa bumi Nias Selatan tersebut memiliki parameter update dengan magnitudo M 6,7.

Baca juga: Lokasi Gempa Nias Dekat dengan Lokasi Gempa Dahsyat 225 Tahun Lalu

Pada awal Maret 2022, tepatnya pada Kamis (3/3/2022) pukul 13.37 WIB, gempa berkekuatan magnitudo M 4,8 mengguncang Pasaman Barat, Sumatera Barat.

Sejumlah warganet pun mempertanyakan mengapa gempa bumi terus mengguncang wilayah Indonesia.

"Why gempa terus," demikian tulis komentar salah satu warganet pada twit @infoBMKG yang menginformasikan gempa Pangandaran magnitudo M 3,9 pada Selasa.

"Kok gempa terus ya," tulis komentar warganet lainnya.

Baca juga: Analisis BMKG soal Penyebab Gempa Banten M 5,3 Hari Ini

Baca juga: Nias 2 Kali Diguncang Gempa, Ini Penjelasan BMKG Terkait Penyebabnya

Lantas, mengapa wilayah Indonesia sering diguncang gempa bumi?

Banyak sumber gempa

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan, Indonesia kerap diguncang gempa bumi karena dampak dari banyaknya sumber gempa.

"Kita itu saat ini memiliki enam zona subduksi lempeng. Kemudian kalau dirinci, masih 13 segmen megathrust. Itu generator atau pembangkit gempa dahsyat," ujar Daryono kepada Kompas.com, belum lama ini.

Adapun beberapa segmen megathrust ada di barat Sumatera, Selatan Jawa, Utara Sulawesi, laut Maluku, Utara Papua, dan lainnya.

"Dan itu potensi terjadinya tsunami sangatlah tinggi," kata dia.

Tidak hanya zona megathrust, imbuh Daryono, terdapat pula zona sesar aktif yang merupakan lempengan yang patah dan bergeser.

Baca juga: Viral, Video Semburan Air Panas Pasca-gempa M 6,1 di Pasaman Barat Sumbar, Ini Kata BMKG

Gempa bumi Magnitudo (M) 5,3 mengguncang Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Sabtu (12/3/2022). Akibat gempa tersebut, satu rumah dilaporkan ambruk.Dok. BPBD Lebak Gempa bumi Magnitudo (M) 5,3 mengguncang Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Sabtu (12/3/2022). Akibat gempa tersebut, satu rumah dilaporkan ambruk.

Zona sesar aktif

Zona sesar aktif tersebut ada lebih dari 295 titik dan siap terjadi secara bergantian.

Dengan demikian, bila menjumpai terdapat kejadian gempa yang berdekatan lokasi dan waktunya, hal itu bukan karena saling picu atau saling menjalar.

"Itu hanya kebetulan saja, jadi sampai saat ini pun secara empiris untuk membuktikan sebuah gempa dapat memicu gempa lain, itu masih sulit untuk dibuktikan," jelas Daryono.

Baca juga: Penjelasan soal Potensi Gempa Megathrust dan Perlunya Mengakhiri Kepanikan...

Menurut Daryono, Indonesia berada di kawasan sesar aktif dan kompleks.

Aktif dengan kata lain kejadian gempa sangatlah tinggi, sedangkan kompleks artinya berbagai macam sumber gempa ada di Indonesia.

"Kalau di Indonesia itu banyak terjadi gempa, ya wajar-wajar saja. Karena banyak sumber gempa itu tadi," terang dia.

Baca juga: Alarm Tsunami BMKG Terpasang di 66 Titik, Segera Jauhi Pantai jika Berbunyi

Gempa bumi tidak bisa diprediksi

Salah satu surau atau musalah roboh akibat gempa bumi di Nagari Malampah, Kecamatan Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman, Sumbar.KOMPAS.COM/IDON Salah satu surau atau musalah roboh akibat gempa bumi di Nagari Malampah, Kecamatan Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman, Sumbar.

Dihubungi terpisah pada 5 Juli 2020, Daryono menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada alat yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa.

"Tidak ada yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa," tutur dia.

Daryono mengungkapkan, terjadinya gempa merupakan proses fisis berupa patahan batuan kulit bumi.

Pada suatu kondisi, lanjut dia, di mana batuan atau kulit bumi itu tidak mampu menahan lagi dorongan sehingga terbangun dan bebatuan tidak bisa lentur lagi.

"Kemudian mengalami dislokasi dengan tiba-tiba sehingga terjadilah patahan yang kemudian memancarkan gelombang seismik atau gelombang gempa," jelas Daryono.

Batuan yang tertekan mengalami akumulasi medan stress dan tidak bisa lentur lagi hingga akhirnya patah. Hal itu tidak terpengaruh oleh waktu baik pagi, siang, sore, atau malam.

Oleh karenanya, gempa bumi tidak ada hubungannya dengan waktu-waktu tertentu.

Baca juga: Alarm Tsunami BMKG Terpasang di 66 Titik, Segera Jauhi Pantai jika Berbunyi

Pesan keselamatan

Dengan potensi rawan gempa yang dimiliki Indonesia, Daryono mengimbau kepada masyarakat agar memberikan rangka besi sewaktu membangun rumah.

"Jangan irit-irit campuran semennya. Jangan sekali-kali bangun rumah tidak memakai besi tulangan," kata dia.

"Jadi gempa itu tidak membunuh dan melukai, tetapi bangunan dengan kualitas rendah itulah yang membunuh dan melukai," katanya lagi.

Bagi masyarakat yang berada di pesisir pantai rawan tsunami, Daryono mengingatkan untuk tidak mendirikan rumah atau tempat usaha di bibir pantai.

Selain itu, perhatikan soal jarak aman dari pantai.

"Jika terjadi tsunami, maka penghuni dari bangunan tersebut berisiko menjadi korban jika tidak segera menyelamatkan diri," imbuhnya.

Baca juga: Mengenali Struktur dan Pondasi Bangunan Tahan Gempa, seperti Apa?

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Lombok Rawan Gempa, Ini Sebabnya...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Jaga Kesehatan, Jemaah Haji Diimbau Umrah Wajib Pukul 22.00 atau 09.00

Jaga Kesehatan, Jemaah Haji Diimbau Umrah Wajib Pukul 22.00 atau 09.00

Tren
Sisa Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2024, Ada Berapa Tanggal Merah?

Sisa Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2024, Ada Berapa Tanggal Merah?

Tren
4 Tanda yang Menunjukkan Orangtua Psikopat, Apa Saja?

4 Tanda yang Menunjukkan Orangtua Psikopat, Apa Saja?

Tren
SIM Diganti NIK Mulai 2025, Kapan Masyarakat Harus Ganti Baru?

SIM Diganti NIK Mulai 2025, Kapan Masyarakat Harus Ganti Baru?

Tren
Dirjen Dikti: Rektor Harus Ajukan UKT 2024 dan IPI Tanpa Kenaikan

Dirjen Dikti: Rektor Harus Ajukan UKT 2024 dan IPI Tanpa Kenaikan

Tren
Warganet Sebut Pemakaian Kain Gurita Bayi Bisa Cegah Hernia, Benarkah?

Warganet Sebut Pemakaian Kain Gurita Bayi Bisa Cegah Hernia, Benarkah?

Tren
Saat Jokowi Sebut UKT Akan Naik Tahun Depan, tapi Prabowo Ingin Biaya Kuliah Turun

Saat Jokowi Sebut UKT Akan Naik Tahun Depan, tapi Prabowo Ingin Biaya Kuliah Turun

Tren
Bolehkah Polisi Hapus 2 Nama DPO Pembunuhan Vina yang Sudah Diputus Pengadilan?

Bolehkah Polisi Hapus 2 Nama DPO Pembunuhan Vina yang Sudah Diputus Pengadilan?

Tren
Kisah Nenek di Jepang, Beri Makan Gratis Ratusan Anak Selama Lebih dari 40 Tahun

Kisah Nenek di Jepang, Beri Makan Gratis Ratusan Anak Selama Lebih dari 40 Tahun

Tren
Ramai soal Uang Rupiah Diberi Tetesan Air untuk Menguji Keasliannya, Ini Kata BI

Ramai soal Uang Rupiah Diberi Tetesan Air untuk Menguji Keasliannya, Ini Kata BI

Tren
Benarkah Pegawai Kontrak yang Resign Dapat Uang Kompensasi?

Benarkah Pegawai Kontrak yang Resign Dapat Uang Kompensasi?

Tren
Peneliti Ungkap Hujan Deras Dapat Picu Gempa Bumi, Terjadi di Perancis dan Jepang

Peneliti Ungkap Hujan Deras Dapat Picu Gempa Bumi, Terjadi di Perancis dan Jepang

Tren
Pengguna Jalan Tol Wajib Daftar Aplikasi MLFF Cantas, Mulai Kapan?

Pengguna Jalan Tol Wajib Daftar Aplikasi MLFF Cantas, Mulai Kapan?

Tren
BMKG Keluarkan Peringatan Kekeringan Juni-November 2024, Ini Daftar Wilayahnya

BMKG Keluarkan Peringatan Kekeringan Juni-November 2024, Ini Daftar Wilayahnya

Tren
Ada Potensi Kekeringan dan Banjir secara Bersamaan Saat Kemarau 2024, Ini Penjelasan BMKG

Ada Potensi Kekeringan dan Banjir secara Bersamaan Saat Kemarau 2024, Ini Penjelasan BMKG

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com