Bangsa ini seolah tak henti berputar dari satu ironi ke ironi lainnya, melompat berjumpalitan dari satu absurditas ke absurditas lainnya tanpa jeda, tanpa tanda jemu, apalagi muak, seolah ironi dan absurditas telah jadi jamak.
Isu digoreng dan dimasak, lalu dipanaskan oleh berbagai tanggapan, diberi ajang dan panggung oleh media mainstream maupun digital.
Hiruk-pikuk kurang berkualitas inikah yang terkadang memberatkan langkah kita berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Belum lagi bila kita masukkan unsur politis di dalamnya, makin komplekslah persoalan.
Adapun dari sudut pandang para penggiat media sosial hal ini tentu sah-sah saja, makin kreatif (baca: makin aneh, nyeleneh) akan makin digemari dan beroleh likes serta subscribes makin banyak, gilirannya hal itu akan dikuantifikasi, dimonetisasi (monetized) yang mengalir ke rekening.
Ironisnya, telanjur ada adagium umum nan salah kaprah bahwa konten yang positif itu garing alias boring dan tidak menghibur serta tak memuaskan dahaga eskapisme digital yang kian menggelora di tengah pandemi Covid-19 ini.
Pada titik inilah, semua terpulang pada kita sebagai subyek yang sekaligus obyek (pasar sasaran) dari berbagai konten dan aktivitas bermedia sosial tersebut.
Ya, kitalah subyek yang punya kendali atas diri untuk memilah yang positif dan negati serta mencerna dan mengunyah segenap tawaran-tawaran tersebut secara cerdas dan mandiri.
Dibutuhkan kualitas manusia matahari yang mencerahkan, bukan membuat kusut dan menghadirkan gelap mendung kehidupan.
Kita sebagai ciptaan Sang Khalik yang tertinggi derajatnya mesti menimbang segenap konsekuensi logis alias akibat yang mungkin timbul sebagai buah dari dinamika proses yang kita pilih. Tak ada kata instan, tak ada mental nerabas mau enaknya doang.
Tepat pada titik inilah terjadi banyak ironi di negeri ini! Misalnya, kearifan lama “berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian” tak lagi dikenal. Yang justru mengemuka adalah “secepat mungkin mencapai ke hulu untuk bersenang-senang”, bahkan mungkin tanpa menghiraukan bagaimana pun caranya.
Kegigihan dan disiplin yang membangun tatanan masyarakat moderen bentrok dengan hasrat mencari kesenangan dan kecenderungan instant success atau pemaknaan ‘sukses’ secara sempit.
Sukses tidak lagi dilihat sebagai buah yang hanya layak dipetik dari suatu proses panjang pengolahan diri, tetapi lebih dimaknai melalui status dan simbol-simbol sosial yang lebih bernuansa materialisme.
Parameter-parameter material-ekonomis yang kadang berbau hedonis dijadikan acuan utama. Orang lebih sering menafikan proses di balik suatu sukses dan lebih terpukau oleh pernik-pernih yang melambangkan sukses itu betapapun semunya.
Kita silau menyaksikan bagaimana artis A bergelimang kemewahan di usia muda dengan istri dan anak yang manis. Kita tergerak untuk bisa mencapai hal itu sesegera mungkin.
Kita lupa bahwa Sang Artis telah menekuri jalan panjang sejak remaja hingga bisa berada dalam posisi saat ini.