Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darwin Darmawan

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral ilmu politik Universitas Indonesia

Relevansi Nilai Spiritual Waisak di Tengah Pandemi Covid-19

Kompas.com - 26/05/2021, 15:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARI ini seluruh umat Buddha di muka bumi merayakan Waisak. Perayaan ini merujuk pada teladan hidup Sidharta Gautama, tokoh suci yang menjadi Buddha (baca: pribadi yang mengalami pencerahan).

Konferensi perayaan Buddhis sedunia di Srilanka (1950) menetapkan Waisak sebagai hari penting untuk mengenang tiga hal terkait Sidharta Gautama: kelahirannya, pencerahan yang dialaminya, dan wafatnya.

Sidharta Gautama adalah anak raja. Dia terlahir di lingkungan istana. Hidupnya nyaman dan sejahtera. Tetapi, karena dorongan rohani untuk bebas dari derita, ia meninggalkan itu semua.

Ia rela terpisah dari keluarga. Ia bersedia hidup terbatas dan sederhana. Sidharta berketetapan hati untuk membebaskan diri dari jerat nafsu dan godaan dunia.

Tentang kekuasaan

Teladan Buddha bertolak belakang dengan kecenderungan manusia yang ingin berkuasa. Tentang kekuasaan, Abraham Lincoln pernah berkata : “Banyak orang tahan hidup sengsara. Tetapi jika ingin menguji karakter seseorang, berilah dia kekuasaan”.

Karakter Sidharta Gautama teruji. Dia tidak dibuai dan diperbudak kekuasaaan. Sebaliknya, dia meninggalkan semuanya demi membebaskan manusia dari penderitaan dunia.

Banyak penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini. Sebut saja beberapa: jurang lebar antara yang miskin dan kaya, sulitnya rakyat negara miskin mendapatkan jatah vaksin, hak orang miskin melalui dana bansos yang dikorupsi.

Sumber penderitaan dalam hidup bersama, sering disebabkan oleh para penguasa. Mereka memakai kekuasaaan untuk kenyamanan diri dan kelompoknya.

Di tengah pandemi covid 19 ini, para penguasa mestinya belajar dari Buddha: memakai kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat, bukan malah diperbudak olehnya.

Pencerahan yang dialami Sidharta Gautama menjadi role model bagi umat Buddha. Mereka berharap dapat mengalami hal yang sama.

Salah satu pencerahan yang diteladankan Gautama adalah perlunya menjalani hidup berdasarkan cinta kasih (karuna). Seseorang hidup dalam cinta kasih ketika bebas dari sikap acuh tak acuh dan kemelekatan terhadap seseorang/sesuatu.

Cinta kasih menolong orang bebas dari ego-sentrisme. Pemahaman ini yang mendasari umat Buddha mengucapkan “Sabbe saatta Bhavantu Sukhitatta” (semoga semua mahluk hidup berbahagia).

Relasi antara manusia

Kepala WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus (mengutip Kompas.com, 27/12/2020) mengungkapkan bahwa pandemi Covid 19 ini bukan krisis terakhir. Manusia perlu siap menghadapi krisis -krisis lain. Baca: WHO: Bukan Pandemi Terakhir, Dunia Harus Belajar dari Pandemi Covid-19

Karena itu, manusia tidak boleh fokus hanya mengatasi pandemi saat ini. Ada yang tidak kalah penting selain mengatasi pandemi covid 19. Yaitu, memperbaiki krisis relasi antara manusia, mahluk hidup lain dan ancaman global warming.

Tedros benar. Paradigma antroposentris membuat manusia egois dan mengabaikan keberadaan mahluk hidup lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com