Pada 1905, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu, sehingga Opu Daeng dan suaminya harus meninggalkan Kota Palopo dan memilih menetap di Pare-Pare.
Selama di sana, ia aktif sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Sekembalinya ke Palopo, Opu Daeng Risadju mendirikan cabang PSII di Palopo pada 14 Januari 1930.
Ia kemudian memperluas perjuangannya dan menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu.
Tak hanya itu, ia dituduh melakukan tindakan provokasi rakyat untuk melawan pemerintah kolonial dan dipenjara selama 13 bulan.
Opu Daeng Risadju tercatat sebagai wanita pertama yang dipenjarakan oleh Pemerintah kolonial Belanda dengan alasan politik.
Ia berkali-kali menerima hukuman kejam dari Belanda karena perlawanannya.
Di usia yang tak lagi muda, ia dipaksa berjalan kaki ke Watampone yang berjarak 40 kilometer. Opu Daeng bahkan sampai tuli seumur hidup karena siksaan yang ia terima.
Pada 10 Februari 1964, ia meninggal dunia di Palopo dan dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.
Baca juga: Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan dari Sulawesi Selatan
Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat.
Ayah Rasuna, Muhammad Said, adalah seorang aktivis pergerakan dan cukup terpandang di kalangan masyarakat Minang yang begitu mementingkan pendidikan.
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Rasuna memilih sekolah agama Islam. Selepas sekolah dasar, dia belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah dan menjadi satu-satunya santri perempuan.
Pada 1926, di usia 16 tahun, Rasuna Said memutuskan berkecimpung di ranah politik dengan menjadi sekretaris organisasi Sarekat Rakyat (SR) cabang Sumatera Barat, organisasi dengan tokoh sentral Tan Malaka.
Dalam aktivitasnya sebagai propagandis, Rasuna kerap berorasi di hadapan publik yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda.
Puncaknya, pada 1932 terjadi ketika Rapat Umum PERMI di Payakumbuh. Saat Rasuna berpidato, aparat datang dan menangkapnya.
Ia diajukan ke pengadilan kolonial, kemudian dipenjara selama 14 bulan dengan dakwaan ujaran kebencian.
Meski kekuasaan beralih di tangan Jepang, ia tetap gigih memperjuangkan kemerdekaan.
Sampai Indonesia merdeka, Rusuna Said terus berkecimpung di dunia politik.
Baca juga: 3 Nafas Likas: Perempuan Pejuang Bukan Hanya Kartini dan Cut Nyak Dhien
(Sumber: Kompas.com/ Ivany Atina Arbi, Ari Welianto, Serafica Gischa | Editor: Ivany Atina Arbi, Ari Welianto, Nibras Nada, Rachmawati)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.