Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selain Kartini, Ini 7 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Berjuang untuk Kemerdekaan

Kompas.com - 21/04/2021, 19:28 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini menjadi sosok pahlawan nasional yang banyak diketahui masyarakat Indonesia. 

Berkat jasanya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan pribumi, hari kelahirannya setiap tahun pada 21 April selalu diperingati. 

Akan tetapi, selain Kartini, ada banyak pahlawan perempuan tangguh lainnya yang juga berjuang demi Indonesia dengan caranya masing-masing.

Baca juga: Mengenal Raden Ajeng Kartini, Sosok, dan Perjalanan Hidupnya...

Siapa saja mereka?

1. Cut Nyak Dhien

Cuk Nyak Dhien (duduk)Kemendikbud RI Cuk Nyak Dhien (duduk)

Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan nasional asal Aceh yang berjuang dalam melawan penjajahan Belanda.

Ia lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar.

Cut Nyak Dhien mulai ikut mengangkat senjata dan berperang melawan Belanda pada 1880.

Akibat perang, suami pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga tewas saat bertempur pada 29 Juni 1878. Bahkan, suami keduanya, Teuku Umar juga tewas tertembak pada 11 Februari 1899.

Namun dia terus berjuang melawan kekuasaan Belanda, sampai akhirnya diasingkan di Sumedang, Jawa Barat bersama tahanan politik Aceh lainnya.

Pada 6 November 1908, Cut Nya Dien meninggal di pengasingan dan makamnya baru ditemukan pada 1959.

Baca juga: Berkunjung ke Rumah Cut Nyak Dhien di Aceh

2. Ruhana Kuddus

Ruhana Kuddus, Jurnalis Perempuan Pertama IndonesiaKOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Ruhana Kuddus, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia

Ruhana Kuddus lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 20 Desember 1884.

Ruhana berjuang melalui tulisan-tulisannya yang terbit di koran perempuan Poetri Hindia. Sampai akhirnya, pada 1912, ia mendirikan surat kabar perempuan Soenting Melajoe pada 1912.

Tulisannya kerap mengkritik budaya patriarki yang saat itu begitu kental di Sumatra Barat, seperti nikah paksa di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan terhadap akses-akses ekonomi.

Selepas meninggalkan Soenting Melajoe, pengaruh Ruhana masih begitu kuat di dunia pers.

Ketika pindah ke Medan pada 1920, Ruhana mengelola surat kabar Perempoean Bergerak bersama jurnalis tersohor setempat, Pardede Harahap.

Kemudian, Ruhana memutuskan untuk pindah kembali ke tanah kelahirannya Sumatera Barat dan mengajar di sekolah Vereeniging Studiefonds Minangkabau (VSM) Fort de Kock (Bukittingi) sambil terus menulis.

Baca juga: Ruhana Kuddus, Wartawati Pertama yang Gencar Menentang Poligami, Nikah Dini dan Dominasi Laki-laki

3. Dewi Sartika

Raden Dewi Sartikakemdikbud.go.id Raden Dewi Sartika

Sama halnya dengan RA Kartini, Raden Dewi Sartika juga memperjuangkan pribumi khususnya perempuan untuk mengenyam pendidikan.

Ia lahir di Bandung pada 4 Desember 1884. Sejak kecil Dewi Sartika memiliki bakat sebagai pengajar.

Ia selalu memanfaatkan papan bilik, kandang kereta, dan pecahan genteng untuk mengajarkan pengetahuan kepada sesama. Dia juga mengajarkan saudara perempuannya keterampilan, seperti merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis.

Akhirnya pada tahun 1904, Dewi Sartika berhasil membuka sekolah khusus perempuan dengan nama Sakola Istri. Sekolah itu didirikan di ruang pendopo Kabupaten Bandung dan dibantu oleh dua orang saudaranya.

Sekolahnya berkembang pesat, sehingga menjadi nama Sakola Kautamaan Istri dan membuat organisasi Kautamaan Istri di Tasikmalaya.

Kemudian, pada 1929 berganti lagi menjadi nama Sekolah Raden Dewi.

Baca juga: Revolusi Sunyi Dewi Sartika, Renungan Hari Perempuan Internasional

4. Martha Christina Tiahahu

Patung pahlawan nasional Martha Christina Tiahahu di Karang Panjang, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku, Senin (25/6/2012).KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Patung pahlawan nasional Martha Christina Tiahahu di Karang Panjang, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku, Senin (25/6/2012).

Martha Christina Tiahahu diperkirakan lahir pada 4 Januari 1800 di Nusa Laut, sebuah pulau berjarak sekitar 70 kilometer dari Kota Ambon, Maluku.

Ayahnya adalah Kapiten Paulus Tiahahu, orang terpandang di Nusa Laut.

Ia tumbuh di tengah perubahan situasi politik di antara Belanda, dan Inggris antara 1810-1816.

Rakyat Maluku terkena imbasnya karena tanam paksa cengkih dan pala. Pohon-pohon mereka ditebang, dan para pemuda dipaksa masuk dinas kemiliteran.

Ketidakpuasan membuat seorang pria bernama Thomas Matulessy dan kawan-kawannya mengadakan rapat pada 3 Mei 1816 dengan kesimpulan memulai gerakan perlawanan.

Matulessy mengizinkan Martha ikut berjuang. Sejak saat itu, pada usia 17 tahun, Martha mulai bergabung dalam gerakan perlawanan.

Ia juga membantu Pattimura berperang melawan Belanda.

Pada 17 Mei 1817, Benteng Duurstede jatuh ke tangan pasukan Pattimura. Akan tetapi, Belanda melawan balik.

Beberapa bulan kemudian, Belanda menangkap Pattimura dan melancarkan serangan umum. Martha memimpin pasukan tempur perempuan dengan ikat kepala melingkar.

Baca juga: Hari Pahlawan, Mengenal Rasuna Said Sang Singa Betina dan Martha Christina Tiahahu Berperang di Usia 17 Tahun

5. Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serangkemdikbud.go.id Nyi Ageng Serang

Ia bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Biasa dipanggil Kustiyah. Lahir di Serang pada 1752.

Saat Panembahan Serang menolak Perjanjian Giyanti yang dianggap merugikan rakyat, Belanda geram dan melakukan perang besar.

Kustiyah pun membantu ayahnya untuk menahan serangan Belanda. Sayangnya, Kustiyah berhasil ditangkap dan dibawa ke Yogyakarta.

Tak selang lama, ia berhasil melarikan diri. Kustiyah pun bergabung dalam Perang Diponegoro.

Kustiyah terus berjuang meski dalam kondisi dipikul dengan tandu. Oleh karena semangat dan kegigihannya, Kustiyah dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang.

Ia menguasai taktik strategi perang yang hebat. Bahkan Pangeran Diponegoro memilihnya sebagai penasihat dalam siasat perang.

Pada 1828, Nyi Ageng Serang meninggal dunia pada usia 76 tahun, saat perang masih berlangsung.

Baca juga: Meski Jadi Nama Gedung, Nyi Ageng Serang Masih Kurang Dikenal

6. Opu Daeng Risadju

Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan dari Sulawesi Selatan tribunnews.com Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan dari Sulawesi Selatan

Nama aslinya adalah Famajjah. Ia lahir pada 1880 di Palopo, Sulawesi Selatan.

Ia merupakan anak dari pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan ibunya Opu Daeng Mawellu yang merupakan keturunan bangsawan Luwu.

Pada 1905, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu, sehingga Opu Daeng dan suaminya harus meninggalkan Kota Palopo dan memilih menetap di Pare-Pare.

Selama di sana, ia aktif sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Sekembalinya ke Palopo, Opu Daeng Risadju mendirikan cabang PSII di Palopo pada 14 Januari 1930.

Ia kemudian memperluas perjuangannya dan menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu.

Tak hanya itu, ia dituduh melakukan tindakan provokasi rakyat untuk melawan pemerintah kolonial dan dipenjara selama 13 bulan.

Opu Daeng Risadju tercatat sebagai wanita pertama yang dipenjarakan oleh Pemerintah kolonial Belanda dengan alasan politik.

Ia berkali-kali menerima hukuman kejam dari Belanda karena perlawanannya.

Di usia yang tak lagi muda, ia dipaksa berjalan kaki ke Watampone yang berjarak 40 kilometer. Opu Daeng bahkan sampai tuli seumur hidup karena siksaan yang ia terima.

Pada 10 Februari 1964, ia meninggal dunia di Palopo dan dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.

Baca juga: Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan dari Sulawesi Selatan

7. Rasuna Said

Rasuna SaidKompas.id Rasuna Said

Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat.

Ayah Rasuna, Muhammad Said, adalah seorang aktivis pergerakan dan cukup terpandang di kalangan masyarakat Minang yang begitu mementingkan pendidikan.

Berbeda dengan saudara-saudaranya, Rasuna memilih sekolah agama Islam. Selepas sekolah dasar, dia belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah dan menjadi satu-satunya santri perempuan.

Pada 1926, di usia 16 tahun, Rasuna Said memutuskan berkecimpung di ranah politik dengan menjadi sekretaris organisasi Sarekat Rakyat (SR) cabang Sumatera Barat, organisasi dengan tokoh sentral Tan Malaka.

Dalam aktivitasnya sebagai propagandis, Rasuna kerap berorasi di hadapan publik yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda.

Puncaknya, pada 1932 terjadi ketika Rapat Umum PERMI di Payakumbuh. Saat Rasuna berpidato, aparat datang dan menangkapnya.

Ia diajukan ke pengadilan kolonial, kemudian dipenjara selama 14 bulan dengan dakwaan ujaran kebencian.

Meski kekuasaan beralih di tangan Jepang, ia tetap gigih memperjuangkan kemerdekaan.

Sampai Indonesia merdeka, Rusuna Said terus berkecimpung di dunia politik.

Baca juga: 3 Nafas Likas: Perempuan Pejuang Bukan Hanya Kartini dan Cut Nyak Dhien

(Sumber: Kompas.com/ Ivany Atina Arbi, Ari Welianto, Serafica Gischa | Editor: Ivany Atina Arbi, Ari Welianto, Nibras Nada, Rachmawati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com