KOMPAS.com - Sekitar setahun lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi agar aktivitas belajar, bekerja, dan beribadah dilakukan dari rumah.
Hal ini dilakukan karena merebaknya penyebaran virus corona, yang terkonfirmasi di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Tak hanya orang dewasa, anak-anak Indonesia pun terpaksa melakukan berbagai aktivitas di rumah.
Mulai dari belajar, bermain sampai mencari hiburan, semuanya sebisa mungkin dilakukan di dalam rumah.
Para kepala daerah juga saya minta membuat kebijakan sesuai kondisi daerahnya menyangkut proses belajar dari rumah bagi pelajar/mahasiswa, kebijakan tentang sebagian ASN bekerja di rumah dengan tetap melayani masyarakat, dan menunda kegiatan yang melibatkan banyak orang. pic.twitter.com/lg950Cs3nX
— Joko Widodo (@jokowi) March 15, 2020
Melihat fakta setahun kegiatan di rumah ini, psikolog sosial dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Laelatus Syifa mengatakan, apa yang terjadi setahun ini bisa berpengaruh pada mental anak.
"Sebenarnya beberapa penelitian itu menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas interaksi dengan teman yang minim pada anak, itu dapat memunculkan perasaan kesepian dan tertekan," kata Laelatus, saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/3/2021).
Baca juga: Hari Ini Setahun Lalu, Kita Semua Diminta Bekerja dan Belajar dari Rumah...
Laelatus mengatakan, reaksi setiap anak untuk mengekspresikan bentuk stres, kesepiannya, dan rasa tertekannya bisa bermacam-macam.
Oleh karena itu, salah satu upaya paling efektif untuk menjaga kesehatan mental anak adalah membuatnya bahagia. Caranya, yaitu:
"Kebutuhan itu dipenuhi oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka, itu adalah hal yang cukup membantu untuk menjaga kesehatan mental anak," jelas Laelatus.
Salah satu hal yang hilang dari pembatasan kegiatan di luar rumah adalah interaksi langsung bersama teman.
"Anak itu kehilangan momen berinteraksi dengan temannya hampir setahun ya, padahal kita pahami bahwa teman itu memiliki peran penting dalam perkembangan anak," kata Laelatus.
Ia menjelaskan, ada beberapa hal dari anak yang bisa didapatkan dari teman sebaya, tetapi kurang bisa didapat dari orang tua.
Beberapa hal tersebut, meliputi:
"Bisa kita bayangkan kalau peran teman ini enggak ada selama setahun, tentu saja ini akan memengaruhi sosial anak," kata Laelatus.
Akan tetapi, bukan berarti kita sebagai orangtua atau orang dewasa di sekitarnya tidak bisa berperan sebagai teman anak-anak. Orang dewasa bisa berperan sebagai teman bagi anak.
"Ya mungkin akan tetap berbeda, tetapi kita berusaha untuk menjadi teman mereka dan dengan cara menciptakan kegiatan bersama anak," ujar Laelatus.
Baca juga: Belajar dari Rumah, Kurikulum Darurat dan Anjuran Kak Seto...
Salah satu hal yang menjadi sorotan selama pandemi adalah tingginya angka kekerasan terhadap anak dan perempuan.
"Kadang anak itu sebagai pihak yang memiliki otoritas paling bawah ketika berada di rumah, memungkinkan mereka berpeluang lebih besar menjadi korban kekerasan," kata Laelatus.
Bentuk kekerasan pada anak, ada yang verbal dan fisik. Laelatus menjelaskan, banyak orang tua yang salah mengartikan kekerasan sebagai bentuk pendisiplinan.
"Jadi orangtua kadang menyampaikan sesuatu dengan maksud mencoba mendisiplinkan anak, tetapi tanpa sadar itu mereka melakukan kekerasan kepada anak," katanya.
Hal ini tentu sangat berbahaya bagi anak. Jika terjadi kekerasan verbal, Laelatus mengatakan, anak akan sakit hati dan berpengaruh pada mental mereka.
Padahal, kunci menjaga kesehatan mental anak adalah dengan membuat mereka bahagia.
Tidak hanya anak, orang dewasa juga perlu untuk menjaga kesehatan mental di dalam rumah.
Laelatus menjelaskan, fase adaptasi manusia pada suatu kondisi dapat terjadi dalam kurun waktu 6 bulan, tetapi ada proses yang berbeda bagi setiap orang.
"Meski secara teori, individu itu akan mampu menyesuaikan diri selama 6 bulan, tetapi setiap orang memiliki fase dalam hidupnya ketika pandemi ini," kata dia.
Ada privilege atau hak istimewa yang berbeda pada setiap orang. ia menjelaskan bahwa orang dengan kondisi yang stabil, lebih mudah bangkit dan menemukan jalan keluar dari kesulitan di masa pandemi.
Kondisi stabil tersebut, misalnya, memiliki akses internet lancar, keluarga sehat, dan memiliki pekerjaan yang mapan.
"Namun beberapa masih ada yang mengalami kesulitan, mereka itu harus beradaptasi dengan ketidakpastian setiap harinya," kata Laelatus.
Seperti diketahui, pandemi membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, perusahaannya bangkrut, belum mendapat pekerjaan, atau masalah lainnya.
Adapun untuk upaya menjaga kesehatan mental orang dewasa, lakukan hal-hal ini:
1. Menjaga kesehatan tubuh
Kesehatan mental bisa tercipta, ketika diiringi juga dengan kesehatan fisik. Menjaga kebutuhan biologis dan makan makanan sehat bisa jadi upaya menajga kesehatan mental.
"Sakit itu kan tidak enak, jadi hal pertama sebagai manusia dewasa untuk menjaga kesehatan mental itu adalah menjaga tubuh kita," kata laelatus.
2. Cari cara kreatif menghubungi teman
Setelah tubuh sehat, seseorang harus mampu menyaring prioritas yang ada dalam dirinya.
Jika di masa pandemi merasa kesepian atau butuh banyak interaksi dengan teman, maka cari cara sekreatif mungkin untuk memenuhi prioritas tersebut.
Rupanya tidak hanya anak-anak, orang dewasa juga perlu untuk menjaga interaksi baik dengan teman-temannya.
"Apakah kita punya prioritas untuk gaul sama teman-teman dalam kondisi pandemi, ya kita mencoba mencari peluang dan mengandalkan kreativitas dalam kondisi seperti ini," ujar Laelatus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.