"Bisa timbul klaster baru karena pengambilan sampel dan pembuangan limbahnya tidak memperhatikan segala macam aturan itu," kata Aryati.
Aryati juga menjelaskan bahwa setiap tes Covid-19 yang dilakukan harus dilaporkan kepada pemerintah.
Data inilah yang jadi acuan jumlah atau tingkat testing di suatu negara.
Jual beli alat tes rapid antigen ini akan mengacaukan data dan sulit untuk memantau data testing.
"Ini kan tambah susah memantaunya," kata dia.
Aryati juga mengkhawatirkan pemahaman masyarakat soal interpretasi bahwa hasil dari tes antigen tidak dapat sepenuhnya akurat.
Yang dimaksud interpretasi adalah, hasil tes antigen positif hanya dapat terdeteksi pada fase akut. Fase akut berbeda dengan tingkat keparahan penyakit Covid-19.
"Itu adalah fase di mana bisa menularkan, bukan parah. Orang OTG bisa positif dan tidak bergejala. Jadi tidak menunjukkan keparahan, tetapi positivitas itu menunjukkan ada virus SARS-CoV-1, yang bisa berpotensi menularkan," jelas Aryati.
Keterbatasan dari tes antigen adalah, hanya dapat mendeteksi positif pada 5 sampai 7 hari pasca seseorang terinfeksi atau terpapar virus corona.
"Kalau lebih dari 7 hari, disesuaikan dengan PCR ada CT value, itu maksimumnya 40, di bawah 20 saja dia terdeteksi. Padahal di atas 25-30 saja dia sudah bisa menularkan," kata Aryati.
Artinya, jika seseorang terserang virus di atas 7 hari, terdeteksi negatif, dia berisiko menularkan.
"Hasil negatif tidak menyingkirkan kenyataan bahwa (sebelumnya) dia positif atau bisa menularkan," imbuh Aryati.
Oleh karena itu, penting bagi setiap orang menjalankan protokol kesehatan 5M meski hasil tes antigen menunjukkan reaksi negatif.
Aryati juga menyoroti banyaknya influencer atau figur publik yang secara tidak langsung menyepelekan protokol Covid-19.
Ia mencontohkan unggahan-unggahan artis di YouTube yang mencoba melakukan tes mandiri dengan sembarangan, mencolok hidung atau nasofaring padahal bukan tim medis, berkerumun, dan sebagainya.
"Apalagi public figure. Menurut saya mereka harusnya diperingatkan. Mereka merekam dalam video dan diposting, itu bahaya lho menurut aku. Ini kan dalam tanda petik mengacaukan program pemerintah," kata Aryati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.