Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Nugroho
Pemimpin Redaksi Kompas.com

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Pesan Golput dari Desa Matabondu dan Perlunya Mitigasi Kekecewaan

Kompas.com - 14/12/2020, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oya, soal kecewa, pekan lalu kita dapat pesan yang kuat dari warga Desa Matabondu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Di hari menjelang pelaksanaan pilkada, 9 Desember 2020, 250 warga Desa Matabondu yang memiliki hak pilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya alias golput.

Keputusan untuk golput itu dilakukan sebagai bentuk protes karena selama 12 tahun tak diperhatikan oleh pemerintah. Dana desa yang sudah dialokasikan tidak diberikan.

Secara administratif, Desa Matabondu tercatat sebagai desa di Kementerian Desa. Karena kekecewaan belasan tahun ini, Ahmad, Kepala Desa Matabondu menyatakan, percuma menyalurkan suara tetapi tidak pernah didengarkan.

Suara kecewa dari Desa Matabondu ini adalah peringatan kepada siapa saja yang dalam Pilkada 2020 yang menggeser peringatan Hari Antikorupsi Sedunia meraup suara terbanyak dari rakyatnya.

Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang anteng-anteng saja mendapati Hari Antikorupsi Sedunia diambil alih pilkada, dari sekitar 500 bupati atau walikota, ada 122 yang terbukti korupsi. Dari 34 gubernur, ada 22 gubernur yang terbukti korupsi.

Catatan yang dimiliki KPK ini sudah cukup jadi pijakan untuk kecewa sebenarnya. Pilkada lebih banyak menghasilkan korupsi daripada pejabat yang melayani.

Belum lagi jika 121 izin penyadapan yang dimiliki KPK dari Dewan Pengawas membuahkan hasilnya dan mengejutkan kita hari-hari ini. Kita dukung para penyidik KPK yang bekerja dalam diam, tekun dan hening untuk menebalkan rasa kecewa kita.

Tapi tampaknya kalian tidak akan kecewa juga mendapati pejabat-pejabat lain ditangkap satu per satu karena korupsi oleh KPK. Bukan memaklumi, tetapi karena harapan sudah lama tidak diletakkan di sana. Mitigasi kecewa yang oke juga menurut saya.

Selain soal vaksin, pilkada dan korupsi, minggu yang baru kita lewati riuh rendah oleh proses hukum atas Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab oleh Polda Metro Jaya.

Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla memberikan keterangan terkait sejumlah isu salah satunya virus corona di kediamannya di Jakarta, Rabu (5/2/2020). Kompas.com/Wisnu Nugroho Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla memberikan keterangan terkait sejumlah isu salah satunya virus corona di kediamannya di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Setelah dua kali tidak memenuhi panggilan, Rizieq Shihab akhirnya mendatangi Polda Metro Jaya, Sabtu, 12 Desember 2020. Usai diperiksa 10 jam, Rizieq ditahan pada untuk 20 hari ke depan.

Dalam upaya polisi mencari dan memeriksa Rizieq, terjadi baku tembak yang mengakibatkan enam orang pengawal Rizieq meninggal. 

Rizieq diperika terkait kasus kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi di kawasan sekitar rumahnya di Petamburan, Jakarta Pusat, pada 14 November lalu.

Untuk kasus yang sama, sudah diperiksa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Saat ini, Anies sedang melakukan isolasi mandiri karena positif Covid-19.

Terkait Rizieq dan Anies, pekan lalu juga marak diperbincangkan mengenai peran Jusuf Kalla, wakil presiden dua pemerintahan periode pertama era Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Misteri Mayat Dalam Toren di Tangsel, Warga Mengaku Dengar Keributan

Misteri Mayat Dalam Toren di Tangsel, Warga Mengaku Dengar Keributan

Tren
China Blokir “Influencer” yang Hobi Pamer Harta, Tekan Materialisme di Kalangan Remaja

China Blokir “Influencer” yang Hobi Pamer Harta, Tekan Materialisme di Kalangan Remaja

Tren
Poin-poin Draft Revisi UU Polri yang Disorot, Tambah Masa Jabatan dan Wewenang

Poin-poin Draft Revisi UU Polri yang Disorot, Tambah Masa Jabatan dan Wewenang

Tren
Simulasi Hitungan Gaji Rp 2,5 Juta setelah Dipotong Iuran Wajib Termasuk Tapera

Simulasi Hitungan Gaji Rp 2,5 Juta setelah Dipotong Iuran Wajib Termasuk Tapera

Tren
Nilai Tes Online Tahap 2 Rekrutmen Bersama BUMN 2024 di Atas Standar Belum Tentu Lolos, Apa Pertimbangan Lainnya?

Nilai Tes Online Tahap 2 Rekrutmen Bersama BUMN 2024 di Atas Standar Belum Tentu Lolos, Apa Pertimbangan Lainnya?

Tren
Mulai 1 Juni, Dana Pembatalan Tiket KA Dikembalikan Maksimal 7 Hari

Mulai 1 Juni, Dana Pembatalan Tiket KA Dikembalikan Maksimal 7 Hari

Tren
Resmi, Tarik Tunai BCA Lewat EDC di Retail Akan Dikenakan Biaya Rp 4.000

Resmi, Tarik Tunai BCA Lewat EDC di Retail Akan Dikenakan Biaya Rp 4.000

Tren
Orang Terkaya Asia Kembali Gelar Pesta Prewedding Anaknya, Kini di Atas Kapal Pesiar Mewah

Orang Terkaya Asia Kembali Gelar Pesta Prewedding Anaknya, Kini di Atas Kapal Pesiar Mewah

Tren
Ngaku Khilaf Terima Uang Rp 40 M dari Proyek BTS 4G, Achsanul Qosasi: Baru Kali Ini

Ngaku Khilaf Terima Uang Rp 40 M dari Proyek BTS 4G, Achsanul Qosasi: Baru Kali Ini

Tren
Poin-poin Revisi UU TNI yang Tuai Sorotan

Poin-poin Revisi UU TNI yang Tuai Sorotan

Tren
Tak Lagi Menjadi Sebuah Planet, Berikut 6 Fakta Menarik tentang Pluto

Tak Lagi Menjadi Sebuah Planet, Berikut 6 Fakta Menarik tentang Pluto

Tren
Daftar 146 Negara yang Mengakui Palestina dari Masa ke Masa

Daftar 146 Negara yang Mengakui Palestina dari Masa ke Masa

Tren
Apa Itu Tapera, Manfaat, Besaran Potongan, dan Bisakah Dicairkan?

Apa Itu Tapera, Manfaat, Besaran Potongan, dan Bisakah Dicairkan?

Tren
Cara Memadankan NIK dan NPWP, Terakhir Juni 2024

Cara Memadankan NIK dan NPWP, Terakhir Juni 2024

Tren
Rekan Kerja Sebut Penangkapan Pegi Salah Sasaran, Ini Alasannya

Rekan Kerja Sebut Penangkapan Pegi Salah Sasaran, Ini Alasannya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com