Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pesan Golput dari Desa Matabondu dan Perlunya Mitigasi Kekecewaan

Harapan baru banyak disematkan untuk tahun yang akan datang setelah kita menjalani tahun 2020 yang penuh ketidakpastian karena pandemi.

Belajar dari pengalaman rontoknya harapan untuk tahun 2020, banyak pihak tidak terlalu tinggi meletakkan harapan untuk tahun 2021.

Sikap lebih realistis ini adalah upaya meredam kecewa lantaran pandemi belum sungguh-sungguh teratasi.

Betul, sejumlah vaksin sudah ditemukan dan akan disuntikkan untuk mengakhiri pandemi ini. Namun, bagaimana vaksin diproduksi, bagaimana secara adil didistribusikan, bagaimana secara tepat diberikan dan bagaimana-bagaimana lainnya belum ada kejelasan.

Di negara kita adalah contohnya. Setelah kabar gembira lantaran datanganya 1,2 juta dosis vaksin Sinovac, China yang diharapkan bisa jadi awal mengakhiri pandemi, ketidakjelasan yang membuat tawar rasa gembira justru mengemuka.

Polemik yang membuat tawar bahkan meruntuhkan rasa gembira karena vaksin datang dari dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI menolak menjadi penerima vaksin pertama. Meskipun pada akhirnya disebut bahwa statemen ini sarkasme belaka. 

Dapat dipahami situasi serba salah terkait pembarian vaksin ini. Dokter dan tenaga medis yang ada di benteng terakhir pertahanan dan didahulukan merasa jadi "kelinci percobaan". Karena alasan ini, ada penolakan dan minta para pejabat lebih dahulu divaksin.

Untuk diketahui, menurut data Tim Mitigasi PB IDI, sepanjang Maret hingga Desember, ada 342 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid-19.

Sebaliknya, jika para pejabat negara seperti para menteri dan presiden menerima vaksin lebih dahulu, komentar juga akan muncul beraneka ragam. Salah satu yang bisa diduga adalah kritik karena mencari selamat sendiri karena punya kekuasaan.

Menurut Luhut, pemerintah mendahulukan rakyat, memberikan yang terbaik untuk rakyat. Kalau presiden mau disuntik duluan, hari ini juga bisa. Tetapi itu tidak dilakukan. Demikian Luhut membela.

Situasi seperti ini membuat berita datangnya 1,2 juta dosis vaksin produksi Sinovac, China diterima biasa-biasa saja, tidak dengan gegap gempita atau gembira. Tambahan 1,8 juta dosis vaksin dari China akan datang pada Januari 2021.

Jika ternyata benar-benar kabar gembira, adaptasi akan lebih mudah tentunya.

Oya, soal kecewa, pekan lalu kita dapat pesan yang kuat dari warga Desa Matabondu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Di hari menjelang pelaksanaan pilkada, 9 Desember 2020, 250 warga Desa Matabondu yang memiliki hak pilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya alias golput.

Keputusan untuk golput itu dilakukan sebagai bentuk protes karena selama 12 tahun tak diperhatikan oleh pemerintah. Dana desa yang sudah dialokasikan tidak diberikan.

Secara administratif, Desa Matabondu tercatat sebagai desa di Kementerian Desa. Karena kekecewaan belasan tahun ini, Ahmad, Kepala Desa Matabondu menyatakan, percuma menyalurkan suara tetapi tidak pernah didengarkan.

Suara kecewa dari Desa Matabondu ini adalah peringatan kepada siapa saja yang dalam Pilkada 2020 yang menggeser peringatan Hari Antikorupsi Sedunia meraup suara terbanyak dari rakyatnya.

Catatan yang dimiliki KPK ini sudah cukup jadi pijakan untuk kecewa sebenarnya. Pilkada lebih banyak menghasilkan korupsi daripada pejabat yang melayani.

Belum lagi jika 121 izin penyadapan yang dimiliki KPK dari Dewan Pengawas membuahkan hasilnya dan mengejutkan kita hari-hari ini. Kita dukung para penyidik KPK yang bekerja dalam diam, tekun dan hening untuk menebalkan rasa kecewa kita.

Tapi tampaknya kalian tidak akan kecewa juga mendapati pejabat-pejabat lain ditangkap satu per satu karena korupsi oleh KPK. Bukan memaklumi, tetapi karena harapan sudah lama tidak diletakkan di sana. Mitigasi kecewa yang oke juga menurut saya.

Selain soal vaksin, pilkada dan korupsi, minggu yang baru kita lewati riuh rendah oleh proses hukum atas Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab oleh Polda Metro Jaya.

Dalam upaya polisi mencari dan memeriksa Rizieq, terjadi baku tembak yang mengakibatkan enam orang pengawal Rizieq meninggal. 

Rizieq diperika terkait kasus kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi di kawasan sekitar rumahnya di Petamburan, Jakarta Pusat, pada 14 November lalu.

Untuk kasus yang sama, sudah diperiksa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Saat ini, Anies sedang melakukan isolasi mandiri karena positif Covid-19.

Terkait Rizieq dan Anies, pekan lalu juga marak diperbincangkan mengenai peran Jusuf Kalla, wakil presiden dua pemerintahan periode pertama era Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Dalam sebuah wawancara, Jusuf Kalla yang saat ini menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) mengatakan, dirinya mendukung Anies maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 untuk "melindungi" Jokowi dari kemungkinan kemenangan Ahok.

Kalla juga mengakatan, kunjungan Anies ke Rizieq wajar dilakukan karena mengunjungi pendukung di Petamburan yang mengantarnya memenangi Pilkada DKI Jakarta 2017. 

Vaksin, pilkada, korupsi dan Petamburan menjadi berita yang mewarnai akhir tahun 2020 dan memenuhi aliran media sosial kita. WhatsApp yang paling populer di Indonesia adalah salah satunya.

Alasan utama dan pertama-tama adalah privasi. WhatsApp memiliki fitur bagi lokasi (share location) yang membuat orang AS tidak nyaman.

Selain itu, WhatsApp juga memiliki fitur status untuk melihat apakah orang sedang online atau tidak. Ada pula fitur untu mengecek terakhir dilihat (last seen) dan status sedang mengetik (typing).

Kendati bisa diatur, perasaan tidak nyaman muncul.

Lalu kenapa dengan ketidaknyamanan ini WhatsApp sangat populer di Indonesia? 

Dugaan saya, ketidaknyamanan yang lebih besar dan banyak ragamnya membuat ketidaknyamanan yang dimunculkan WhatsApp tidak ada artinya.

Salam nyaman,

Wisnu Nugroho

https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/14/110542765/pesan-golput-dari-desa-matabondu-dan-perlunya-mitigasi-kekecewaan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke