KOMPAS.com - Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) akan mendatangi pasien Covid-19 saat pemungutan suara Pilkada 2020, baik yang menjalani isolasi maupun dirawat di rumah sakit.
Melalui akun resmi Twitter-nya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut kunjungan petugas KPPS dan saksi tersebut akan dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD).
Halo #TemanPemilih, setiap suara sangat berarti. Prinsip ini jg yg melatarbelakangi KPU untuk memastikan hak pilih pasien Covid-19 dan rawat inap ttp dpt gunakan hak pilihnya di 9 Desember nanti. Petugas dan saksi datang menggunakan APD. Ingat 7 Hari Lagi ya.#KPUMelayani pic.twitter.com/zr4ynyGCQy
— KPU RI (@KPU_ID) December 2, 2020
Apakah mekanisme ini aman bagi petugas KPPS dan saksi?
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Windhu Purnomo mengatakan, mekanisme tersebut sangat tidak aman dan berisiko.
Pasalnya, petugas medis yang sudah terbiasa dan terlatih menggunakan APD juga masih banyak yang terpapar virus corona.
"Tentu tidak aman dan sangat berisiko, petugas kesehatan saja tertular kok, apalagi petugas KPPS, mereka ini kan tidak terlatih," kata Windhu kepada Kompas.com, Kamis (3/12/2020).
"Terutama yang paling hati-hati kan ketika membuka atau berganti pakaian. Saya khawatir para petugas tidak dilatih untuk itu," kata dia.
Baca juga: H-6 Pilkada 2020 dan Lonjakan Kasus Covid-19 di Indonesia
Akan tetapi, semua mekanisme ini tetap harus dilakukan sebagai konsekuensi Pilkada 2020 yang diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19.
Sebab, hak pilih orang yang sakit atau sedang diisolasi karena virus corona memang tidak boleh dicabut, kecuali jika mereka menolak.
Untuk itu, persiapan teknis mengenai pemungutan suara bagi pasien Covid-19 ini benar-benar harus dipersiapkan secara matang.
"Kalau tidak ya (surat suara) dititipkan kepada petugas medis di sana yang memang sehari-hari sudah menggunakan APD. Cuma ya masalahnya aman atau tidak unsur kerahasiaannya," jelas dia.
Selain mendatangi pasien Covid-19, Windhu menyebut petugas KPPS juga seharusnya mendatangi para pemilih yang rentan terinfeksi, seperti berusia di atas 60, memiliki komorbit, dan ibu hamil.
Baca juga: Kasus Covid-19 di Jateng Disorot Jokowi, Bagaimana Persiapan Pilkada di Sana?
"Kalau mereka tertular ini risikonya tinggi untuk meninggal. Mereka ini harus dijaga dan dilindungi. Jadi tidak boleh mereka diminta datang ke TPS, meski mereka bukan diisolasi," ujar Windhu.
"Jangan demi demokrasi mereka jadi korban. Kalau mereka ini tertular, siapa yang tanggung jawab? Jadi pemilih-pemilih high risk ini juga harus didatangi," kata dia.
Windhu menyebutkan, sejak awal banyak yang berharap pelaksanaan Pilkada 2020 ini sebaiknya ditunda karena berisiko terjadi penularan virus corona.
Apalagi, kasus infeksi Covid-19 di Indonesia dalam beberapa hari terus mencatatkan rekor harian tertinggi dan menembus angka 5.000.
"Seharusnya ketika dua bulan menjelang Pilkada ini, ketika kasus terus menanjak, ada keputusan untuk ditunda," ujar Windhu.
"Apalagi sekarang kasusnya semakin tinggi, jadi pada dasarnya berisiko tinggi. Saya khawatir nanti usai pilakda ini ledakan kasus bisa semakin tinggi," kata dia.
Baca juga: Pilkada 9 Desember, Ini Sejumlah Protokol Kesehatan yang Diberlakukan