Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Fakta soal Gugatan RCTI atas UU Penyiaran dan Potensi Dampaknya

Kompas.com - 28/08/2020, 16:20 WIB
Vina Fadhrotul Mukaromah,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2020 tentang Penyiaran ramai diperbincangkan di media sosial dan menjadi sorotan publik.

Pemicunya adalah dua stasiun televisi di Indonesia, yaitu PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) melayangkan gugatan atas UU Penyiaran tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengajuan uji materi perihal UU Penyiaran ini diajukan keduanya pada Juni lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.

Menurut pemerintah, jika permohonan tersebut dikabulkan, maka masyarakat tidak dapat mengakses media sosial secara bebas.

Baca juga: Duduk Perkara Gugatan RCTI yang Ancam Kebebasan Siaran Live di Medsos

Merangkum pemberitaan Kompas.com, berikut adalah fakta-fakta soal gugatan tersebut:

1. Mempersoalkan Pasal 1 UU Penyiaran

RCTI dan iNews TV mempersoalkan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran yang berbunyi:

"Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."

Pasal tersebut, oleh pemohon, dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio, dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti YouTube dan Netflix.

Sebab pada Pasal 1 Angka 2 tersebut, UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tidak mengatur penyelenggara penyiaran terbarukan.

“Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Baca juga: Instagram TV hingga YouTube Live Harus Miliki Izin Siar jika Gugatan terhadap UU Penyiaran Dikabulkan

2. Pemohon merasa dirugikan

Dalam gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal.

Seperti misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.

Sementara, penyelenggara penyiaran dengan internet tidak memerlukan persyaratan itu.

Kemudian, pemohon juga menyebut harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Satandar Program Penyiaran (P3SPS) dan ada ancaman sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jika terjadi pelanggaran.

"Sementara, bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet, tentu tidak ada kewajiban untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan," kata Imam. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com