Dalam beleid itu juga disebutkan mekanisme penyampaian partisipasi masyarakat seperti rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, seminar dan sejenisnya.
Poin ini menjadi salah satu unsur penting dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik.
Jika penyusunan peraturan perundang-undangan (UU) menyimpang dari prosedur ini, taruhannya bisa diujiformilkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Begitulah posisi partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Ada keterlibatan dan aspirasi dalam partisipasi publik.
Berbeda dengan partisipasi publik, opini publik yang dihasilkan melalui riset opini publik sejatinya juga memiliki korelasi dengan isu hukum.
Hanya saja, perlu dibedakan opini publik yang diukur melalui pendapat publik dengan opini publik yang membentuk hukum sebagai kekuatan sosial.
Lawrence M Freidman (1975) secara tegas menyebutkan, hukum tidak dihasilkan melalui opini mayoritas seperti halnya seorang presiden yang dihasilkan dukungan oleh mayoritas pemilih.
Secara lugas, Freidman menyebutkan, opini publik yang diukur jajak pendapat seperti Gallup tidak musti menggambarkan pengaruh kekuatan sosial yang sebenarnya terhadap hukum.
Dia berargumen, opini publik yang tidak menggambarkan pengaruh kekuatan sosial terhadap hukum disebabkan karena mengabaikan unsur ketidaksetaraan dan intensitas responden.
Jajak pendapat menghilangkan segala intensitas. Selain itu, jajak pendapat juga mengabaikan persoalan struktur yang mengabaikan persoalan institusional.
Freidman menegaskan, opini publik yang memengaruhi relasi opini publik dan hukum tak ubahnya hubungan antara ekonomi dan pasar.
Ada kalanya sebagian orang memiliki kepentingan akan komoditas tertentu sehingga komoditas tersebut menjadi penting. Ada kalanya pula, sebagian orang memiliki lebih banyak kemampuan dan kekayaan daripada lainnya.
Hal itu pula yang terjadi dalam relasi opini publik dan hukum.
Di sisi lain, sejak berlimpahnya akses internet dan penggunaan media sosial di Indonesia partisipasi masyarakat melalui pemanfaatan media sosial juga melahirkan opini publik.
Meski, di poin ini keterlibatan aktif publik dalam menyuarakan substansi obyek yang dibahas jauh lebih artikulatif dibanding jajak pendapat yang dalam istilah Freidman disebut sebagai “opini mati”.
Meski demikian, sedikitnya, terdapat dua kelemahan di model partisipasi masyarakat melalui kanal media sosial.
Pertama, pembahasan sebuah RUU di ruang digital tidak dibahas secara detail layaknya pembahasan sebuah RUU di ruang diskusi, seminar, serta rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR.
Pola yang muncul yakni menangkap (capturing) obyek tertentu serta hanya fokus pada norma yang dianggap bermasalah dijadikan landasan untuk pengambilan sikap yang biasanya melahirkan opsi hitam dan putih; menolak atau mendukung.