Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merunut Asal Budaya "Titip" dalam Rekrutmen Kelembagaan di Indonesia...

Kompas.com - 26/07/2020, 18:31 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

 

KOMPAS.com - Baru-baru ini politisi PDI-P, Adian Napitupulu menyebutkan setidaknya terdapat 6.200 orang menduduki jabatan direksi dan komisaris berbagai BUMN yang merupakan orang titipan.

Menurut Adian, hal tersebut dia ungkapkan karena melihat selama ini proses rekrutmen untuk dua jabatan tersebut terkesan tertutup.

Padahal gaji yang dikeluarkan untuk dua jabatan tersebut berasal dari perusahaan milik negara.

Jumlah gaji mereka pun tidak main-main di mana, negara menurut Adian mengeluarkan Rp 3,7 triliun setiap tahun untuk 6.200 orang tersebut.

Baca juga: 10 BUMN yang Miliki Bisnis Hotel, dari Pertamina hingga Krakatau Steel

Di Indonesia, hal titip-menitip di kelembagaan semacam ini bukanlah hal baru, mulai dari di lembaga pemerintahan, usaha, bahkan pendidikan, memasukkan orang dengan jalur orang dekat sudah menjadi rahasia umum.

Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Drajat Tri Kartono.

Ia menjelaskan dua konsep yang dikenal dalam urusan rekrutmen pekerjaan, yakni sistem merit dan sistem ketertambatan.

Baca juga: Menilik Fenomena Masyarakat yang Nekat Ngemal dan Abaikan Protokol Kesehatan...

Sistem merit

Ilustrasi melamar kerjaShutterstock Ilustrasi melamar kerja

Sistem merit adalah rekrutmen yang berdasar pada terpenuhinya, kualifikasi dan syarat formal oleh pelamar sesuai dengan kebutuhan yang dicari oleh suatu manajemen.

Sementara sistem ketertambatan (embeded) adalah mencari Sumber Daya Mausia (SDM) dengan mengandalkan hubungan atau relasi sosial, kekeluargaan, kedekatan, dan sebagainya.

"Kapan itu dimulainya, itu sudah lama sekali, karena memang kan zaman dulu sekali, zaman pemerintahan atau pekerjaan itu masih berpusat pada orang-orang feodal, para pemilik tanah, atau juga kerajaan-kerajaan, itu memang rekrutmennya berdasarkan keluarga," kata Drajat, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (26/7/2020) siang.

Baca juga: Daftar BUMN yang Punya Bisnis Hotel

Dengan merekrut keluarga atau orang terdekat, si pencari kerja merasa bisa mendapat jaminan kepercayaan.

"Itu dulu, sekarang di saat era sudah bergeser pada modernitas, banyak orang pintar, banyak orang yang memiliki kompetensi tinggi, namun jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia masih terbatas," katanya lagi.

Akhirnya, banyak SDM yang tidak tertampung. Di situlah celah, menurut Drajat, mengapa sistem rekrutmen titipan masih berlaku.

"Nah sisanya ini harus menempuh beraneka ragam upaya agar bisa masuk ke pekerjaan. Di sinilah upaya-upaya untuk mencari jalan-jalan di luar sistem merit itu tadi dilakukan, baik melalui keluarga, sesama etnis, agama, teman, saudara, alumni," ungkap Drajat.

Baca juga: Jadi Maskapai Pelat Merah, Garuda Indonesia Berawal dari Pesawat Sewa

Perbandingan tidak ideal

,SHUTTERSTOCK ,

Selama perbandingan pencari kerja dengan posisi kerja tidak sebanding, maka cara-cara ini akan terus berlangsung dan sulit dihindari.

Hal semacam ini tidak hanya berlaku di ranah pekerjaan, akan tetapi juga politik hingga pendidikan.

Drajat menyebut sistem titip orang seperti yang terjadi di Indonesia ternyata juga terjadi di negara lain, misalnya Amerika Serikat.

"Di Amerika ada studi namanya Getting Job, ternyata di sana pun cara-cara mendapatkan pekerjaan berdasarkan pada hubungan sosial, itu menjadi jalur yang dipakai," sebut dia.

Baca juga: Mengapa Angka Kematian akibat Covid-19 di Asia Lebih Rendah daripada Eropa dan AS?

Melihat pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, Drajat menyebut ketika itu RI 1 menempatkan sederet orang militer untuk menduduki jabatan pada perusahaan nasional yang baru saja dinasionalisasi dari pihak asing.

"Di situ kan kita belum punya pengusaha tangguh, Soekarno memasukkan militer walaupun tidak punya kompetensi, tapi taruh di situ jadi direktur semua," tutur Drajat.

"Apa yang terjadi, karena mereka tidak tangguh, maka mereka harus menjaga hubungan dengan negara, dengan eksekutif yang memang menempatkan dia," lanjutnya.

Baca juga: Mengenal Asabri, Perusahaan BUMN yang Diduga Terindikasi Korupsi oleh Mahfud MD

Budaya lama

Pun dengan apa yang terjadi hari ini, Drajat berpendapat ada saja orang-orang di BUMN yang mendapatkan jabatan dengan cara ini, baik melalui relasi partai, relasi penguasa, atau orang-orang yang dipercaya.

"Tapi ada pasti sebagian yang profesional, merit sistemnya jalan. Cuma untuk menghilangkan sistem embeded ini sulit sekali," sebut Drajat.

Dihubungi terpisah, Sosiolog sekaligus Guru Besar di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Soenyoto Usman juga menyampaikan hal senada.

Baca juga: Disorot, Berikut 5 BUMN yang Produknya Berhasil Mendunia

Budaya titip sudah ada sejak lama di Indonesia, termasuk pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto.

"Dugaan saya sejak birokrasi pemerintahan tidak netral. Zaman Soekarno birokrasi pemerintahan terkait dengan banyak partai. Zaman Soeharto (banyak jabatan diisi oleh) mereka bagian dari Golkar atau ABG: ABRI, Birokrasi dan Golkar. Sekarang (ada jabatan) mungkin (diisi oleh) bagian dari tim sukses," ujar Usman saat dihubungi terpisah, Minggu (26/7/2020).

Ia menyebut tidak selalu budaya titip ini memiliki konotasi negatif, karena ada kalanya mencari orang dengan jalur ini juga bermakna positif.

"Dapat dikonstruksi positif jika terkait dengan rekomendasi agar jabatan yang ditawarkan ditempati orang yang amanah sesuai dengan kemauan atau spirit, pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki," ungkapnya.

Namun budaya ini akan bermakna negatif apabila menjadi bagian dari konspirasii politik, karena mengedepankan kedekatan, bukan kualifikasi atau kemampuan seseorang.

Baca juga: 5 BUMN yang Masih Rugi, dari Krakatau Steel hingga Kertas Leces

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com