Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menimbang Untung Rugi Kebijakan Ekspor Benih Lobster

Kompas.com - 08/07/2020, 08:32 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Virdita Rizki Ratriani

Tim Redaksi

Pemanfaatan kekayaan laut

Meski demikian, dengan adanya peraturan yang melarang penangkapan dan ekspor benih lobster, Suminto berpendapat bahwa potensi kekayaan lautan gagal dimaksimalkan.

Karena hal tersebut, Suminto menyebut bahwa peraturan yang sebelumnya berlaku akhirnya direvisi oleh Menteri KP Edhy Prabowo.

"Sampai 2019, nelayan kan bingung, sebelumnya pekerjaannya itu (menangkap lobster) akhirnya tidak ada pekerjaan tetap. Dengan Permen KP yang sekarang ini sudah bagus, cuma harus ditegakkan," kata Suminto.

Penegakan yang dimaksud Suminto adalah ketegasan dalam menjalankan peraturan yang tertuang dalam Permen KP terbaru ini.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh eksportir benih lobster adalah harus memiliki kegiatan budidaya lobster. Tidak hanya itu eksportir juga disyaratkan sudah berhasil melakukan kegiatan budidaya lobster di dalam negeri, dan sudah panen secara berkelanjutan.

"Kalau berbicara penegakan hukum, yang ekspor sekarang ini sudah memenuhi ketentuan itu belum? Itu yang harus dikontrol oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan," kata Suminto.

Baca juga: Sukses Ekspor Lidi Nipah dan Lada Putih, Babel Diapresiasi Menteri Koperasi dan UMKM

Siapkan budidaya di Indonesia

Menurut Suminto, polemik ini jangan hanya berhenti pada masalah eksportir maupun ekspor benih lobster. Namun, yang lebih penting lagi adalah melihat perlu adanya pembinaan di sektor nelayan maupun budidaya lobster di Indonesia.

"Bagaimana menyiapkan para pembudidaya Indonesia agar siap untuk melakukan pembudidayaan lobster, seperti halnya di tambak-tambak udang," kata Suminto.

Ia menyebut bahwa Kementerian KP harus memfasilitasi sarana dan pra-sarana, baik bagi nelayan maupun pembudidaya.

"Saya setuju (ekspor), tetapi Permen KP No. 12/2020 ini harus ditegakkan secara lurus. Ini sudah dikaji secara akademis dan sudah bagus, tapi pelaksanaannya itu yang menjadi persoalan," kata Suminto.

Jika budidaya berhasil, maka Suminto menyebut bahwa ekspor benih lobster tidak lagi diperlukan.

"Karena nilai tambah, marginnya itu lebih tinggi. Misal, harga benih 5.000 satu ekor atau 10.000, kemudian dipelihara dalam waktu tertentu menjadi setengah sampai satu kilogram besarnya. Satu kilo itu harganya 300.000-400.000, nilai tambahnya kan jauh," kata Suminto.

Baca juga: Polemik Kader Gerindra di Pusaran Ekspor Benih Lobster

Jika hal tersebut bisa dikerjakan oleh masyarakat pembudidaya dan nelayan lobster di Indonesia, maka akan menghasilkan keuntungan triliunan rupiah.

"Karena ini prospektif. Ekspor benih kalau dilaksanakan dengan masif, hitungan kasarnya bisa mencapai satu triliun dari pajaknya. Apalagi kalau ada nilai tambah, devisa dari lobster saja mungkin sudah ratusan triliun," kata Suminto.

Ia mengatakan bahwa orang Indonesia bukannya tidak bisa membudidayakan lobster. Menurutnya banyak ilmuwan yang mampu, dan harus diberi kesempatan untuk melakukan riset terapan di bidang budidaya lobster.

Lebih lanjut, Suminto menyebut bahwa izin ekspor benih lobster ini bukanlah sesuatu yang seharusnya bersifat permanen, melainkan keberadaannya bisa dikaji dan dievaluasi berdasarkan situasi yang terjadi di lapangan.

"Saya belum baca sampai habis (Permen KP terbaru), tapi saya kira harusnya ada satu pasal yang mengatur bahwa apabila masyarakat Indonesia dirasa sudah mampu membudidayakan lobster, maka stop itu ekspor benih," pungkas Suminto.

Baca juga: Menteri Edhy: Potensi Lobster Punah Itu Tidak Ada!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com