Menurut dia, dengan metode diagnosa sebelumnya, beberapa pasien mungkin meninggal sebelum dokter dapat melakukan tes apa pun terhadapnya.
Sementara itu, mengutip dari NY Times, pejabat Provinsi Hubei memasukkan kasus infeksi yang didiagnosis menggunakan pemindaian paru sebagai pasien bergejala.
Cara ini dinilai akan memudahkan otoritas terkait untuk memutuskan bagaimana mengalokasikan sumber daya dan menentukan tindakan perawatan.
Baca juga: Kematian akibat Virus Corona pada 12 Februari 2020 Catat Angka Tertinggi
Meski perubahan cara diagnosis tersebut dianggap postif oleh sejumlah pihak, akan tetapi perubahan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran beberapa ahli.
Bebeapa ahli menilai, pemindaian paru-paru adalah cara yang tidak sempurna untuk mendiagnosis pasien.
Alasannya, pasien dengan flu musiman biasa juga bisa mengalami pneumonia ketika mereka melakukan pemindaian paru.
“Perubahan dalam diagnosis mungkin lebih sulit untuk melacak virus,” kata Dr. Peter Rabinowitz, Co-Direktur University of Washington MetaCenter untuk Kesiapsiagaan Pandemi dan Keamanan Kesehatan Global, sebagaimana dikutip dari NY Times.
"Itu menjadi sangat membingungkan sekarang jika mereka mengubah seluruh cara mereka menyaring dan mendeteksi," lanjut dia.
Perubahan kriteria dianosa merupakan hal yang wajar dalam hal penanganan penyakit baru.
Akan tetapi, ketika kriteria diubah, para ahli berpandangan, tak masuk akal jika terus menerus membuat perbandingan angka dari minggu ke minggu.
"Kedengarannya sederhana, tapi ini sangat penting. Angka apa yang kamu hitung?" kata spesialis penyakit menular, Dr. Schaffner.