Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena "Kepo", Mengapa Orang Cenderung Mengulik Masa Lalu?

Kompas.com - 01/10/2019, 07:40 WIB
Retia Kartika Dewi,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Saat aksi unjuk rasa yang digelar di depan Gedung DPR/MPR sejak pekan lalu, Senin (23/9/2019), salah satu pengguna media sosial mempersoalkan mengenai jejak digital ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Manik Marganamahendra di Twitter.

Akun bernama GabernerArabpatigenah, @ichwankalimasad menuliskan bahwa ayah Manik, Agung Anggoro Putro diduga pembenci Jokowi.

Dengan dugaan tersebut, ia menyimpulkan bahwa karena sikap ayah Manik tersebut, seolah-olah Manik dianggap pantas mengikuti briefing dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di dalam Kantor KPK.

Selain itu, pengunggah juga melengkapi twitnya dengan beberapa foto tangkapan layar dari media sosial Facebook pada 7 Januari 2018 lalu.

Adapun apa yang dituliskan pengunggah belum jelas kebenarannya. Namun, hal itu bisa jadi menimbulkan salah paham bagi masyarakat.

Pendeskreditan mahasiswa

Menanggapi hal itu, pengamat media sosial Enda Nasution menyampaikan bahwa apa yang dituliskan akun @ichwankalimasad bukan termasuk provokasi.

"Dalam kasus di atas, bukan provokasi. Tapi, ada pihak-pihak yang berusaha saling mendeskreditkan pihak yang dianggap lawan," ujar Enda saat dihubungi Kompas.com, Senin (30/9/2019).

Menurutnya, dalam hal ini pihak mahasiswa dideskreditkan dengan mencari informasi-informasi, sehinggga dukungan publik hilang atau berkurang.

Tak hanya itu, Enda juga menjelaskan bahwa informasi yang beredar di media sosial bisa berindikasi benar atau sebaliknya.

"Informasi yang mendeskreditkan ini bisa benar atau bisa fabrikasi (hoaks). Semuanya dalam rangka perang pembentukkan opini di media sosial,"kata dia.

Baca juga: Kembali Turun ke Jalan, Demo di Berbagai Daerah Berakhir Ricuh. Mana Saja?

Menghancurkan lawan politik

Di sisi lain, psikolog asal Solo, Hening Widyastuti mengungkapkan bahwa adanya unggahan tersebut mengarah pada penggiringan pembaca, terutama pemilih Jokowi, supaya tidak menyukai sekaligus membenci ketua BEM UI.

"Hal tersebut membuat masyarakat pemilih Jokowi menjadi tidak suka, tidak respect, dan benci," ujar Hening saat dihubungi terpisah oleh Kompas.com, Senin (30/9/2019).

Menurutnya, masyarakat mengetahui bahwa ketua BEM UI membawa aspirasi mahasiswa yang notabene anak muda masih murni, penuh idealisme dengan rasa nasionalisme yang tinggi.

Tetapi, dengan situasi dan kondisi yang terjadi saat ini memungkinkan munculnya provokator yang bertujuan merancukan dan membuat situasi semakin tidak kondusif.

"Provokator akan melakukan apapun dan bagaimanapun untuk menghancurkan lawan politik," ujar Hening.

Ia mengatakan, cara yang mudah untuk menyebarkan berita keburukan atau kelemahan seseorang sampai menyebarkan kabar bohong atau hoaks, yakni melalui media sosial.

Saat ini, akses media sosial yang sangat terbuka memberi ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk mendapatkan kabar apapun, entah itu kabar benar (fakta) maupun hoaks.

Menilik dari adanya unggahan tersebut, Hening menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang harus belajar dan bersikap cerdas untuk menyaring akses berita di media sosial.

"Dengan situasi saat ini, banyak masyarakat kita yang bimbang dan bingung mana kabar yang benar dan mana yang hoaks," ujar Hening.

Menurutnya, dengan sikap bimbang inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh provokator untuk menyerang seseorang yang tidak disukai, yakni dengan menyerang lawan politiknya dan memecah belah masyarakat.

Tak hanya itu, Hening juga mengatakan bahwa adanya sikap mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dengan memecah belah masyarakat inilah justru termasuk sikap abai terhadap rasa nasionalisme.

Baca juga: Mahasiswa Tolak Pertemuan dengan Presiden, Bagaimana Pengamat Menilai?

Agar tidak terpengaruh

Sementara itu, Enda menyampaikan bahwa ada beberapa sikap yang bisa diterapkan agar tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang belum jelas kebenarannya dan tidak terprovokasi.

Pertama, jika Anda mendapatkan informasi, lakukan penelusuran sendiri mengenai kebenaran informasi tersebut.

"50 persen informasi yang beredar melalui media sosial dan grup-grup chat asumsikan salah," ujar Enda.

Kedua, jangan emosional atau terlalu cepat mengambil kesimpulan.

"Ingat bahwa setiap informasi di saat kondisi rusuh, maka memiliki motivasi untuk mendeskreditkan lawan," kata dia.

Kemudian, rancang dan bentuk pendapat atau opini sendiri, betulkan, dan ingatkan lingkungan sekitar.

Apabila tidak bisa mengingatkan lingkungan sekitar, setidaknya Anda tidak ikut menyebarkan informasi yang belum tentu benar.

Baca juga: Bea Cukai Minta Pelaku Jastip Tak Gunakan Media Sosial, Ini Kata Pengamat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com