KOMPAS.com - Aksi demo #GejayanMemanggil2 kembali digelar di Jalan Gejayan, Sleman, Yogyakarta.
Uniknya, dalam aksi kali ini terlihat beberapa peserta memakai pakaian nyentrik dengan menggunakan topeng dan atribut-atribut lucu.
Beberapa momen itu pun sempat diabadikan di media sosial.
Saya fotografer Tasuka, tiba di Jogja langsung mampir sejenak di Gejayan #GejayanMemanggil2 #gejayanmemanggiljilid2 #gejayanmemangil pic.twitter.com/KyqVN9gtHV
— MasG0P ???????? (@gop_w) September 30, 2019
Menanggapi hal itu, pengamat sosial Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan fenomena tersebut bukanlah hal baru.
"Kalau itu menurut saya tidak baru, hanya memang gejalanya tidak besar," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (30/9/2019).
Menurut Drajat, ada beberapa hal mengapa seseorang memakai atribut-atribut lucu dan nyentrik.
"Pertama adalah ini masalah signified, yaitu mereka pada prinsipnya mengharapkan eksistensi mereka di dalam kelompok besar dalam sejarah Indonesia, ingin menunjukkan bahwa mereka ada," ujar Drajat.
Baca juga: Seni Perlawanan Anak Muda di Balik Poster Lucu Pendemo
Dengan penampilan tersebut, imbuhnya, pasti akan banyak menarik perhatian orang, sehingga mereka bisa terekam oleh sejarah.
Kami Sedang MELAWAN#gejayanmemangil2 #gejayanmemanggiljilid2 pic.twitter.com/mer9I1zBNC
— Irfan Al Ayat (@ayat_irfan) September 30, 2019
Kedua, dalam aksi kali ini pihak yang disasar adalah lembaga, bukan bukan hanya satu orang.
"Jadi mereka tidak bisa memvisualisasikan, mengartikulasikan musuhnya itu dalam bentuk gambar. Karena sekarang lembaga besar dan sasarannya adalah semuanya," kata Drajat.
"Maka kemudian mereka tidak bisa memilih figur sebagai aktualisasi dalam kepentingan mereka itu," lanjutnya.
Ketiga, dengan memakai atribut-atribut tersebut justru tensi demo bisa ditekan.
Terlebih, isu yang diangkat saat ini merupakan isu serius.
"Selama mereka berada pada koridor damai dan polisi hanya menjaga, ya itu tidak apa-apa," katanya lagi.
Drajat mengatakan, jika demo damai ini berjalan dalam waktu yang lama dan negara yang tidak bisa meredam kepentingan demonstran, hal itu akan membuat demo hanya menjadi sebuah ritual politik biasa.
"Nah, kalau jadi sebuah ritual politik seperti itu, orang keluar akan ringan. Mereka jadi duduk-duduk santai dan menganggapnya kaya grebek solo, kayak festival," kata Drajat.
"Walaupun kelompok aktivisnya tetap bergerak dengan pemikiran krisis dan kritis," lanjutnya.
Baca juga: Mengenang Tragedi Lampung, 2 Mahasiswa Meninggal akibat Protes RUU PKB
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.