Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU KPK, Begini Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia...

Kompas.com - 07/09/2019, 13:51 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

Menyambung pidatonya di hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto juga mengeluarkan UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan tersebut menyatakan bahwa akan diterapkan pidana penjara maksimum seumur hidup dan denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang masuk kategori korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi.

Tetapi, pelaksanaan GBHN ini bocor lantaran pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

Organ-organ negara seperti parlemen yang mempunyai fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tidak ada lagi.

Selain itu, lembaga yudikatif juga dibuat serupa oleh rezim orde baru, sehingga tidak ada kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen.

Kekuatan masyarakat sipil juga dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasannya.

Baca juga: Janji Ketua DPR soal Revisi UU KPK yang Diingkari…

Era Reformasi

Setelah masa Orde Baru tumbang, muncullah pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998.

Pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid tersebut, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Gus Dur lalu membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Saat itu, Gus Dur mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret dalam penegakan hukum korupsi.

Pada saat itu, banyak koruptor kelas kakap yang berhasil ditangkap untuk diperiksa dan dijadikan tersangka.

Pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, ada berbagai kasus korupsi yang muncul dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat.

Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pada pemerintahan saat itu lantaran banyak BUMN yang ditengarai banyak melakukan korupsi tetapi tidak dapat dituntaskan. Misalnya adalah korupsi di BULOG.

Baca juga: Jubir KPK: Revisi UU KPK Ganggu Investasi dan Program Pemerintah

Walupun kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang berwenang mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati lalu membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).

Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas buntunya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada saat itu. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sebelumnya, anggota Wadah Pegawai KPK Henny Mustika Sari mengatakan, KPK telah menghadapi berbagai upaya pelemahan di berbagai era pemerintahan. Oleh karena itu, ia berharap Presiden Joko Widodo tak membiarkan lembaga antirasuah itu diperlemah lewat revisi Undang-undang tentang KPK.

"Presiden Abdurrahman Wahid merancang KPK, Presiden Megawati Soekarnoputri melahirkan KPK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melindungi KPK. Dan jangan sampai sejarah mencatat KPK mati pada masa Presiden Joko Widodo," kata dia sebagaimana diberitakan Kompas.com (6/9/2019).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com