Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Itu Cancel Culture? Berikut Pengertian dan Dampaknya

KOMPAS.com - Cancel culture merupakan sebuah istilah yang belakangan ini ramai dibicarakan, terutama di jagat maya.

Secara harfiah, cancel culture dapat diartikan sebagai ”budaya membatalkan”, meski makna sebenarnya lebih dalam daripada itu.

Secara sederhana, istilah ini merujuk pada perilaku ”membatalkan”, memboikot, atau menghukum seseorang maupun kelompok akibat tindakan mereka yang (dianggap) salah.

Dikutip dari laman New York Timer, awal abad ke-21, sebuah frasa muncul dalam bahasa gaul China, renrou sousuo, menggambarkan sekelompok netizen yang berkumpul untuk mencari informasi tentang objek dan tokoh yang mereka minati.

Pada awalnya Itu hanya saluran untuk fandom. Namun tak lama kemudian perhatian beralih ke tayangan orang-orang yang dianggap melakukan kesalahan atau menunjukkan kekurangan moral.

Setelah para “pelanggar” teridentifikasi dan data pribadinya terungkap secara online, mereka diburu, dihakimi secara verbal, dan secara efektif dikeluarkan dari komunitas.

Di Amerika Serikat (AS) kemudian fenomena yang serupa dikenal sebagai cancel culture (budaya pembatalan).

Istilah ini diterapkan secara acak pada insiden-insiden baik online maupun offline, mulai dari main hakim sendiri, perdebatan sengit, hingga penguntitan, intimidasi, dan pelecehan.

Mereka yang menganut gagasan “pembatalan” menginginkan lebih dari sekedar permintaan maaf dan pengakuan kesalahan.

Tidak selalu jelas apakah tujuannya adalah untuk memperbaiki kesalahan tertentu, hal itu justru terlihat seperti melampiaskan dendam sebagai sebuah cara.

Dilansir dari laman Insider, cancel culture muncul dalam kesadaran kolektif sekitar tahun 2017, setelah kepopuleran gagasan "cancel" terhadap selebriti atas tindakan atau pernyataan bermasalah.

Gagasan cancel (pembatalan) sendiri merupakan "boikot budaya" terhadap selebriti, merek, perusahaan, atau konsep tertentu.

Istilah cancel telah digunakan dalam bahasa sehari-hari selama lebih dari satu dekade, sedangkan cancel culture adalah istilah yang jauh lebih baru.

Adanya fenomena sosial seperti cancel culture tentu memiliki pengaruh atau dampak yang baik maupun buruk.

Untuk dampak positifnya, cancel culture dapat membantu memerangi kesalahan dan mengatasi kesenjangan.

Dilansir dari laman Verywell Mind, pada 2016 misalnya, banyak komunitas film yang memboikot Oscar karena kurangnya keberagaman nominasi.

Hal ini membantu mendorong perubahan sosial, sehingga pada tahun 2019, Oscar mencatatkan rekor nominasi sutradara kulit hitam terbanyak yang pernah ada.

Komunitas yang bersatu demi tujuan baik juga membuat orang akan lebih bijak dalam berperilaku tidak pantas atau mengunggah opini yang berpotensi menyinggung.

Namun, di sisi lain, cancel culture juga bisa memberikan dampak negatif, salah satunya terkait dengan kesehatan mental.

Cancel culture sering kali berubah menjadi penindasan bagi orang yang menjadi objek. Mereka mungkin akan merasa dikucilkan, terisolasi secara sosial, dan kesepian.

Dan sejumlah kondisi tersebut dikaitkan dengan tingkat kecemasan, depresi, dan bunuh diri yang lebih tinggi.

Alih-alih menciptakan dialog untuk saling memahami, cancel culture cenderung menutup semua komunikasi, yang pada dasarnya merampas kesempatan korban untuk belajar dan tumbuh dari kesalahannya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/10/14/184500865/apa-itu-cancel-culture-berikut-pengertian-dan-dampaknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke