Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

BMKG Sebut Indonesia Tidak Alami Gelombang Panas, Ini Alasannya

KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofosika (BMKG) menyebutkan, Indonesia mengalami suhu panas selama beberapa hari terakhir.

Suhu panas disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dinamika atmosfer yang tidak biasa, pengaruh gerak semu Matahari, pemanasan global, dan perubahan iklim.

Selain itu, faktor lain yang menyebabkan suhu panas adalah dominasi Monsun Australia ketika Indonesia memasuki musim kemarau, radiasi Matahari, dan tutupan awan.

Kendati mengalami suhu panas, BMKG menegaskan bahwa suhu panas di Indonesia bukanlah gelombang panas. 

Hal itu diungkapkan melalui akun Instagram resmi @infobmkg.

“Indonesia tidak mengalami gelombang panas, tetapi suhu maksimum udara permukaan juga tergolong panas,” tulis BMKG pada Minggu (23/4/2023).

Lantas, apa alasan BMKG menyebutkan Indonesia tidak mengalami gelombang panas?

Penjelasan BMKG

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa Indonesia tidak mengalami gelombang panas seperti negara-negara Asia lainnya.

Ia menjelaskan bahwa suhu panas di Indonesia disebabkan oleh gerak semu Matahari, siklus yang terjadi setiap tahun.

“Sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya,” ujar Dwikorita dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Selasa (25/4/2023).

Diketahui, gelombang panas yang dikaitkan dengan suhu panas di Indonesia telah dialami sejumlah negara selama beberapa hari ke belakang,

Dilansir dari Kompas.com, gelombang panas sudah melanda China, Bangladesh, Laos, Myanmar, India, termasuk Thailand.

Suhu panas Indonesia sudah turun

Dwikorita menjelaskan bahwa suhu panas Indonesia mulai turun sejak 17 April 2023 lalu.

Pada 17 April 2023, pengamatan stasiun BMKG di Ciputat sempat mencatat lonjakan suhu maksimum mencapai 37,2 derajat Celsius.

Setelah itu, suhu panas mulai turun dan suhu rata-rata di wilayah Indonesia berkisar 34-26 derajat Celsius.

“Variasi suhu maksimum 34-36 derajat Celsius untuk wilayah Indonesia masih dalam kisaran normal klimatologi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” tutur Dwikorita.

“Secara klimatologis, dalam hal ini untuk Jakarta bulan April, Mei, dan Juni adalah bulan-bulan di mana suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober-November,” lanjutnya.

Di sisi lain, Dwikorita juga menjelaskan bagaimana suatu wilayah dapat dikategorikan mengalami gelombang panas.

Ada 2 kriteria yang digunakan, yakni karakteristik fenomena dan indikator statistik suhu kejadian.

Berikut penjelasannya:

1. Karakteristik fenomena

Dwikorita menerangkan bahwa gelombang panas biasanya terjadi di wilayah yang berada di lintang tengah dan tinggi, baik di belahan Bumi bagian Utara maupun Selatan.

Gelombang panas juga terjadi di wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar atau wilayah kontinental atau subkontinental.

Sementara Indonesia di terletak di wilayah ekuator dengan kondisi geografis kepulauan yang dikelilingi perairan yang luas.

Di sisi lain, Dwikorita mengatakan bahwa gelombang panas umumnya juga terjadi karena berkembangnya pola cuaca sistem tekanan atmosfer tinggi di suatu area dengan luasan besar secara persisten selama beberapa hari.

Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas gelombang Rossby di troposfer bagian atas.

“Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, pergerakan udara dari atmosfer bagian atas menekan udara permukaan atau subsidensi sehingga termampatkan dan suhu permukaan meningkat karena umpan balik positif antara massa daratan dan atmosfer,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa pusat tekanan atmosfer tinggi menyulitkan udara dari daerah lain mengalir masuk ke area ini.

Sehingga, semakin lama sistem tekanan tinggi ini berkembang di suatu area karena umpan balik positif antara daratan dan atmosfer maka semakin meningkat panas di suatu area.

“Dan semakin sulit awan tumbuh di wilayah tersebut,” tuturnya.

2. Indikator statistik suhu kejadian

Kriteria lain yang digunakan untuk menilai apakah suatu wilayah dilanda gelombang panas adalah indikator statistik suhu kejadian.

Dwikorita menjelaskan, gelombang panas dalam ilmu cuaca dan iklim didefinisikan sebagai periode cuaca dengan kenaikan suhu panas tidak biasa.

Fenomena tersebut setidaknya berlangsung selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut.

Tak hanya itu, fenomena cuaca juga digunakan sebagai kriteria untuk menilai apakah gelombang panas sudah terjadi.

Dalam hal ini, suatu wilayah harus mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik, misalnya 5 derajat Celsius lebih panas dari rata-rata klimatologis suhu maksimum.

“Apabila suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rataratanya dan tidak berlangsung lama maka tidak dikategorikan sebagai gelombang panas,” pungkas Dwikorita.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/25/125100965/bmkg-sebut-indonesia-tidak-alami-gelombang-panas-ini-alasannya

Terkini Lainnya

Pria di Sleman yang Videonya Viral Pukul Pelajar Ditangkap Polisi

Pria di Sleman yang Videonya Viral Pukul Pelajar Ditangkap Polisi

Tren
Soal UKT Mahal Kemendikbud Sebut Kuliah Pendidikan Tersier, Pengamat: Terjebak Komersialisasi Pendidikan

Soal UKT Mahal Kemendikbud Sebut Kuliah Pendidikan Tersier, Pengamat: Terjebak Komersialisasi Pendidikan

Tren
Detik-detik Gembong Narkoba Perancis Kabur dari Mobil Tahanan, Layaknya dalam Film

Detik-detik Gembong Narkoba Perancis Kabur dari Mobil Tahanan, Layaknya dalam Film

Tren
7 Fakta Menarik tentang Otak Kucing, Mirip seperti Otak Manusia

7 Fakta Menarik tentang Otak Kucing, Mirip seperti Otak Manusia

Tren
Cerita Muluwork Ambaw, Wanita Ethiopia yang Tak Makan-Minum 16 Tahun

Cerita Muluwork Ambaw, Wanita Ethiopia yang Tak Makan-Minum 16 Tahun

Tren
Mesin Pesawat Garuda Sempat Terbakar, Jemaah Haji Asal Makassar Sujud Syukur Setibanya di Madinah

Mesin Pesawat Garuda Sempat Terbakar, Jemaah Haji Asal Makassar Sujud Syukur Setibanya di Madinah

Tren
Ada Vitamin B12, Mengapa Tidak Ada B4, B8, B10, dan B11?

Ada Vitamin B12, Mengapa Tidak Ada B4, B8, B10, dan B11?

Tren
Apa yang Dilakukan Jemaah Haji Saat Tiba di Bandara Madinah? Ini Alur Kedatangannya

Apa yang Dilakukan Jemaah Haji Saat Tiba di Bandara Madinah? Ini Alur Kedatangannya

Tren
Kisah Omar, Hilang Selama 26 Tahun, Ditemukan Hanya 200 Meter dari Rumahnya

Kisah Omar, Hilang Selama 26 Tahun, Ditemukan Hanya 200 Meter dari Rumahnya

Tren
Naik Rp 13,4 Miliar Selama 2023, Berikut Rincian Harta Kekayaan Jokowi

Naik Rp 13,4 Miliar Selama 2023, Berikut Rincian Harta Kekayaan Jokowi

Tren
Mengenal PTN BLU di Indonesia: Daftar Kampus dan Bedanya dari PTN BH

Mengenal PTN BLU di Indonesia: Daftar Kampus dan Bedanya dari PTN BH

Tren
Kevin Sanjaya Resmi Nyatakan Pensiun Dini dari Bulu Tangkis, Ini Alasannya

Kevin Sanjaya Resmi Nyatakan Pensiun Dini dari Bulu Tangkis, Ini Alasannya

Tren
Serba-serbi Pendaftaran Sekolah Kedinasan 2024: Prodi, Formasi, dan Penempatan

Serba-serbi Pendaftaran Sekolah Kedinasan 2024: Prodi, Formasi, dan Penempatan

Tren
Siasat SYL 'Peras' Pejabat Kementan, Ancam Copot Jabatan, dan Paksa Mengundurkan Diri

Siasat SYL "Peras" Pejabat Kementan, Ancam Copot Jabatan, dan Paksa Mengundurkan Diri

Tren
Cara Daftar Sekolah Kedinasan STMKG, STIN, dan STIS 2024

Cara Daftar Sekolah Kedinasan STMKG, STIN, dan STIS 2024

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke