Sebelumnya, pernyataan mengenai tawaran restorative justice disampaikan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Reda Manthovani.
"Kami akan menawarkan RJ kepada pihak keluarga korban. Proses itu (RJ) masih bisa dilakukan usai seluruh berkas dilimpahkan dari pihak kepolisian ke kami," ujar Reda.
Namun pernyataan yang belum ada 24 jam itu lalu diralat usai munculnya banyak polemik. Kejati DKI berdalih, restorative justice hanya untuk pelaku berinisial AG karena masih di bawah umur.
Selain itu, hal tersebut dilakukan karena AG tidak langsung menganiaya D sehingga kejaksaan menawarkan perdamaian. Lantas, apa itu restorative justice?
Mengenal restorative justice
Dikutip dari laman Kompas.com (15/2/2022), restorative justice adalah metode penyelesaian konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.
Dalam buku "A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice" yang terbit pada tahun 1996 memaknai restorative justice sebagai tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.
Dikutip dari laman Pengadilan Negeri Sabang, konsep pendekatan restorative justice yakni menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Restorative justice, mengutamakan proses dialog dan mediasi guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi korban maupun pelaku.
Selain itu, Restorative justice memiliki makna keadilan yang merestorasi, restorasi yang dimaksud meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.
Pemulihan hubungan didasarkan kesepakatan bersama antara kedua belah pihak. Korban dapat menyempaikan mengenai kerugian yang diderita, dan pelaku diberi kesempatan untuk menebusnya melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Dasar hukum restorative justice di Indonesia
Landasan penerapan restorative justice di Indonesia di antaranya berdasarkan kebijakan Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
Panduan restorative justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020.
Menurut MA konsep dari restorative justice dapat diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2,5 juta sesuai Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kejaksaan Agung menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020 tersebut, pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sebelumnya juga telah menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Syarat restorative justice
Sesuai dengan Perja Nomor 15 Tahun 2020, sejumlah syarat dilaksanakannya restorative justice yakni bisa dilakukan jika:
Sementara itu, berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, persyaratan umum, penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif yakni meliputi materiil dan formil.
Persyaratan restoratif justice materiil peraturan tersebut meliputi:
Sedangkan persyaratan umum yang berupa persyaratan formil sesuai peraturan tersebut meliputi:
Pengecualian restorative justice
Meski demikian, terdapat beberapa pengecualian kapan Restorative justice tidak bisa diberlakukan.
Selengkapnya, restorative justice sebagaimana dikutip dari Kontan, dikecualikan untuk:
Contoh penerapan restorative justice
Sebagaimana dikutip dari Kompas.com (15/6/2022) terdapat beberapa contoh dari penerapan restorative justice di Indonesia, contoh kasusnya yakni:
1. Anak curi sapi ibunya
Contoh kasus restorative justice yang pernah terjadi yakni saat Kejaksaan Negeri Situbondo pada bulan Juni menghentikan kasus pencurian sapi yang dilakukan anak pada sapi milik ibunya.
Kejadian tersebut terjadi di Kecamatan Asembagus, Situbondo, Jawa Timur pada tahun 2022 lalu.
Kasus tersebut selesai dengan restorative justice setelah anak bernama Samsul Bahri melakukan pencurian sapi ibunya pada 6 April 2022.
“Berkat kebesaran hatinya, korban Miswana, sebagai ibu tersangka, memaafkan perbuatan anaknya sehingga kasus diselesaikan melalui restorative justice,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI Ketut Sumedana dalam keterangannya (16/3/2022).
Setelahnya, Samsul bebas tanpa syarat usai permohonan yang diajukan disetujui oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejagung Fadil Zumhana pada Kamis 9 Juni 2022.
Ketut menyampaikan, alasan penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice karena korban adalah orang tua dari tersangka telah memaafkan perbuatan anaknya.
Selain itu, tersangka Samsul Bahri juga disebutkan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
“Tersangka di masyarakat terkenal baik dan sering membantu orang tuanya,” tambah Ketut.
2. Penganiayaan pemuda karena utang
Contoh yang lain dari penerapan restorative justice adalah penyelesaian kasus penganiayaan tersangka Herlambang pada rekannya di Setiabudi, Jakarta Selatan pada 20 Maret 2022.
Kasus penganiayaan karena soal utang itu dihentikan setelah Kejari Jaksel mendapat persetujuan dari Kejaksaan Agung RI melalui restorative justice.
Pemberhentian penuntutan perkara penganiayaan itu dilakukan didasari pertimbangan serta melengkapi sejumlah persyaratan.
Salah satu syaratnya yakni adanya permohonan maaf tersangka kepada korban yang berujung perdamaian.
"Tersangka ini melakukan tindak pidana baru satu kali. Terus kedua terkait ancaman pidana terhadap sangkaan pasal ini 2 tahun 8 bulan, sehingga tidak lebih dari 5 tahun," ucap Kepala Kejari Jaksel Nurcahyo.
3. Curi motor untuk biaya persalinan
Contoh lain penyelesaian kasus dengan restorative justice adalah pada kasus pencurian motor untuk biaya persalinan
Dalam kasus tersebut pria yang melakukan tindakan pencurian sempat menjalani penahanan selama 2 bulan karena mencuri motor.
Ia nekat melakukan aksinya tersebut untuk membiayai persalinan sang istri. Motor yang dicuri adalah milik seorang pedagang sayur. Kemudian motor tersebut digadaikan seharga Rp 1,5 juta.
Kepala Kejaksaan Negeri Takalar, Salahuddin mengatakan restorative justice merupakan kebijakan melalui peraturan Kejaksaan Agung.
Syarat yang harus dipenuhi dalam restorative justice yakni, ancaman hukuman tidak lebih dari 5 tahun. Kemudian, kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 2,5 juta.
Selain itu pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana dan adanya perdamaian antar kedua bela pihak.
"Dari perkara tersebut, ada yang memenuhi syarat. Dari situlah kita mencoba mengajukan persetujuan Kejaksaan Agung dan Alhamdulillah setelah kita ajukan Restorative Justice dikabulkan," ujarnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/19/180000865/apa-itu-restorative-justice-syarat-dan-dasar-hukumnya-