Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyelisik "Kegentingan yang Memaksa" dalam Penetapan Perppu

Sebutan Perppu pertama kali disebut dalam draf Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dicantumkan dalam Rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 13 Agustus 1945, yang kemudian dibahas dan disahkan dalam Sidang Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.

Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950, sebutan Perpu diganti menjadi Undang-Undang Darurat (UU Darurat). Setelah kembali ke UUD 1945, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, istilah UU Darurat dikembalikan menjadi Perppu. Konstitusi memberikan hak kepada presiden untuk menetapkan Perppu “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” (UUD 1945 Pasal 22 (1)).

Dalam penjelasannya, hak tersebut merupakan “noodverordeningsrecht Presiden”, yaitu hak yang “memaksa” (mengharuskan) presiden untuk bertindak lekas dan tepat guna menjamin keselamatan negara dalam keadaan yang genting dengan menetapkan Perppu. Atau menurut Saldi Isra (2013) sebagai “hak konstitusional subyektif” presiden.

Masalahnya, sejak amandemen UUD 1945 ke-4, penjelasan Pasal 22 tersebut, dan semua penjelasan dalam UUD 1945 yang asli (versi sebelum amandemen) sudah tidak ada dan tidak dikenal lagi adanya.

Pada aturan tambahan Pasal II amandemen tegas dinyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal”. Sejak itu, UUD 1945 versi amandemen tidak lagi mengenal adanya penjelasan. Penjelasan UUD 1945 hanya menjadi sebuah dokumen historis yang sama nilainya dengan dokumen historis lainnya (Putusan MK No. 003/PUU-III/2015).

Ketetapan MK

Dalam situasi “kekosongan” penjelasan hukum ini, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal Konstitusi memberikan tafsir dan penjelasan resmi melalui Putusan Nomor  003/PUU-III/2005, dan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Dalam kedua putusan MK tersebut dijelaskan bahwa, “hal ihwal kegentingan yang memaksa” tergantung pada dua hal, yaitu penilaian subyektif presiden berdasarkan pada keterpenuhan tiga syarat obyektif sebagai parameter; dan penilaian obyektif DPR yang dilakukan dalam persidangan yang berikutnya untuk menerima atau menolak penetapan Perppu menjadi undang-undang.

Apa, mengapa, dan bagaimana hal ihwal "kegentingan yang memaksa" tergantung pada pertimbangan/penilaian subyektivitas hukum presiden. Yang penting keselamatan bangsa dan negara tetap terjamin dalam keadaan genting. Benar tidaknya, sah tidaknya pertimbangan/penilaian subyektif presiden tersebut akan diuji lebih lanjut obyektivitasnya dalam rapat paripurna DPR.

Jika DPR setuju, maka Perppu menjadi UU. Jika DPR tidak setuju/menolak, maka Perppu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan Perppu ditetapkan melalui UU yang diajukan oleh presiden/DPR (UU 12/2011).

Terkait hal ini, MK kemudian lebih tegas dan spesifik menetapkan tiga syarat obyektif sebagai parameter bagi subyektivitas pertimbangan presiden untuk mengeluarkan Perpu, yaitu: Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Kedua, terjadi kekosongan hukum, karena UU yang dibutuhkan tidak ada, atau tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama.

Syarat dan kondisi obyektif tersebut harus dinyatakan dan tercermin di dalam konsiderans (menimbang) Perppu.

Penetapan MK atas tiga syarat obyektif sebagai parameter penerbitan Perppu itu menjadi penting agar tidak terjadi dominasi kepentingan politik terhadap kepentingan publik yang akan membawa negara pada kekuasaan absolut (tirani) yang menjurus kepada penindasan.

Sebab, penindasan terhadap hak dan kebebasan masyarakat berarti kekuasaan telah terbentuk dalam pola despotisme yang pada akhirnya berakibat perpecahan dan tindakan brutal masyarakat atau anarkisme sosial akibat kesewenang-wenangan penguasa.

Selain itu MK juga menyatakan bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa, tidak sama dengan “keadaan bahaya” seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam Perppu 23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Di mana negara secara obyektif berada dalam keadaan/kondisi darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang yang harus segera dilakukan penyelamatan.

Sudah 218 Perppu Diterbitkan

Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia, hingga tahun 2022 tercatat presiden negara ini telah menetapkan 218 Perppu. Berbagai Perppu tersebut menunjukkan adanya kecenderungan pertimbangan hukum (konsideran) tentang “kegentingan yang memaksa” pada masing-masing Perppu berbeda.

Ada yang ditetapkan karena alasan-alasan politik, ekonomi, hukum, sosial, atau kemanusiaan, dan sejumlah alasan lain, yang oleh presiden dinyatakan sebagai kondisi obyektif genting dan memaksa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta harus segera ditetapkan Perppu.

Penetapan Perpu 1/1984; Perpu 1/1992; Perpu 1/1999; Perpu 1/2002, Perpu 2/2002, dan Perpu-Perpu yang terkait dengan pemilu, pilkada, serta terakhir Perpu 2/2022 tentang Cipta Kerja, dalam semua konsiderannya tidak ada kaitannya dengan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Putusan No. 003/PUU-III/2005).

Perpu 2/2022, misalnya, yang menjadi konsideran tentang hal-ihwal kegentingan yang memaksa adalah terkait dengan situasi ekonomi. Seperti persoalan cipta kerja untuk memenuhi hak warga negara atas penghidupan yang layak, persaingan global, krisis ekonomi, perlindungan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan, perubahan iklim, dan gangguan atas rantai pasokan yang telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional.

Kompleksitas kondisi ekonomi ini oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dipandang telah memenuhi parameter sebagai "kegentingan yang memaksa" atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah ekonomi secara cepat, yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu Cipta Kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Kita berharap DPR dan/atau presiden bisa membuat UU yang secara khusus mengatur norma-norma tentang “hal-ihwal kegentingan yang memaksa”, berdasarkan tafsir konstitusional yang terdapat dalam putusan MK tentang tiga syarat obyektif sebagai parameter penerbitan Perppu.

Mengapa? Agar setiap warga negara bisa lebih memahami dengan benar batasan dan ketentuan yang mengizinkan/melarang seorang presiden untuk mengeluarkan Perppu. Juga agar dapat menghindarkan publik untuk tidak serta-merta memandang presiden telah bertindak inkonstitusional, melanggar UU/UUD 1945, dan bisa diajukan pemakzulan (impeachment).

Padahal, ini terjadi hanya karena perbedaan pandangan dan tafsir hukum terhadap penetapan Perppu oleh presiden, seperti polemik yang terjadi terkait penetapan Perpu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja belakangan ini.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/11/060000965/menyelisik-kegentingan-yang-memaksa-dalam-penetapan-perppu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke