Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Urgensi Kepemimpinan Sadar Bencana

Cuaca ekstrem mengakibatkan bencana di berbagai daerah. Di Aceh Timur, banjir mengakibatkan 1.436 warga harus mengungsi. Di wilayah pemukiman Suku Tengger di Desa Ranu Pani, Jawa Timur, 11 rumah dan satu pura rusak akibat tanah longsor dan banjir bandang.

Kita tak pernah tahu kapan bencana akan hadir di tempat kita. Itu baru bencana alam, belum lagi bencana non-alam seperti Covid-19. Covid-19 masih meneror dunia kita. Di Eropa, ada banyak orang yang baru terjangkit Covid-19. Padahal, dunia sudah menyebarkan vaksin booster.

Fenomena tersebut seharusnya menjadi refleksi kita bersama untuk menggaungkan pentingnya manajemen kebencanaan di seluruh institusi, baik sektor formal dan informal. Suatu hal yang mungkin dianggap sebelah mata, harus menjadi topik yang penting untuk kita diskusikan dan terapkan bersama.

Pemimpin sebagai poros

Menurut UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction/Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana) dan CRED tahun 2022, dalam kurun waktu 2000 – 2019, lebih dari empat miliar orang terdampak oleh 7.348 bencana secara global.

Laporan itu juga mengungkapkan bahwa ada 1,23 juta orang hilang dan kerugian ekonomi mencapai 2,97 triliun dollar. Belum lagi kita memasukkan korban jiwa akibat Covid-19. Angka ini menunjukkan kengerian dari bencana yang telah terjadi.

Karena itu, manajemen kepemimpinan bencana memainkan peran yang semakin penting dalam proses mitigasi bencana. 

Disaster management leadership (manajemen kepemimpinan bencana) adalah bagaimana pemimpin menjalankan tugas strategis yang berkaitan dengan manajemen krisis. Kepemimpinan yang mampu mengelola dan memimpin banyak orang dalam semua fase kebencanaan.

Kepemimpinan yang memformulasikan berbagai kebijakan terkait kebencanaan dalam setiap fasenya. Dalam manajemen bencana, terdapat tiga fase: sebelum bencana, saat bencana, dan pasca bencana.

Setiap fase memiliki treatment dan penyelesaian masalah yang berbeda, juga komunikasi yang dilakukan.

Dalam manajemen bencana, pemimpin memegang peran kunci. Dia yang mengorkestrasi segala sesuatunya. Pemimpin adalah dirigen yang mengatur berbagai kegiatan dan tindakan dalam menyelesaikan masalah kebencanaan, mulai dari tahap awal hingga akhir.

Mereka harus memimpin orang-orang yang terlibat, entah itu aktivis, korban, pegiat komunitas, NGO, dan lainnya untuk keluar dari bencana.

Karena itu, dibutuhkan pemimpin tangguh dan resilien dalam menghadapi bencana.

Ramos-Pla, et.al (2021) membuktikannya dengan penelitiannya. Menurut mereka, ada beberapa sifat yang harus dimiliki dan resiliensi menjadi sifat paling penting dalam konteks kebencanaan.

Terlebih, tanggung jawab pemimpin dalam manajemen bencana sangat berat karena mereka punya tugas untuk meminimalisir dampak bencana, menyampaikan kabar baik dan harapan terhadap korban, serta memutuskan kebijakan yang tepat di tengah keterbatasan informasi dan ketidakpastian situasi.

Selain itu, dampak bencana tidak hanya berhenti di korban. Pihak keluarga juga akan mengalami trauma, terlebih jika suatu bencana merenggut nyawa orang terkasih.

Pemimpin memiliki peran penting untuk mengomunikasikan segala aspek yang berkaitan dengan mitigasi bencana kepada orang-orang yang terdampak. Alhasil, pemimpin juga perlu memiliki kecerdasan emosi yang tinggi karena berinteraksi dengan korban tentu akan menguras energi dan emosi.

Pemimpin juga harus mengoordinasikan setiap organisasi yang terlibat. Setiap ada bencana, akan ada banyak organisasi dan komunitas yang turun tangan membantu meringankan dampak. Akan tetapi, tanpa adanya hirarki yang jelas, organisasi-organisasi tersebut akan bergerak sendiri-sendiri, sehingga bantuan bisa tidak tepat sasaran.

Peran itulah yang juga harus diisi oleh pemimpin agar setiap organisasi bisa memberikan bantuannya tepat sasaran. Tuntutan terhadap pemimpin adalah hal yang wajar.

Saat ini, Indonesia masuk dalam top 40 sebagai negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Menurut The World Risk Index 2021, Indonesia berada di peringkat 38 dari 181 negara. Bukan tanpa alasan Indonesia bisa masuk dalam kategori ini.

Tahun 2021, menurut data yang dihimpun dari seluruh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), ada 5.402 bencana, meningkat dari tahun 2020 yang sebanyak 4.642.

Badan kebencanaan dunia atau UNDRR mengeluarkan Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2022. Mereka mengatakan bahwa tren bencana dari tahun ke tahun sangat tinggi.

Dalam rentang tahun 2000 - 2020, jumlah bencana berkisar antara 350 - 500 per tahun. UNDRR membuat proyeksi bahwa jika tren ini terus berlanjut, maka jumlah bencana secara global akan meningkat dari 400 di 2015 ke 560 di tahun 2030.

Perubahan iklim juga harus kita waspadai karena efeknya yang kian parah. The Lancet Countdown on Health and Climate Change mengeluarkan risetnya tentang dampak perubahan iklim di tahun 2020. Mereka menyebutkan, ada 296 ribu kematian pada masyarakat yang berusia 65 tahun ke atas.

Melihat data-data dan proyeksi global, kita sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki kesadaran terhadap bencana dan bahaya di sekitarnya. Mereka yang memiliki pemikiran inovatif tentang pendekatan yang bisa dilakukan dalam menghadapi bencana. Pemimpin yang memiliki kemampuan komunikasi yang luwes dan adaptif terhadap berbagai situasi.

Membangun pola komunikasi di masyarakat

Disaster preparedness, whether it's in anticipation of potential weather-related incidents or terrorist incidents requires a skill set that in my mind someone has to be trained for – Bennie Thompson.

Tren global dan nasional ini bisa memunculkan banyak korban di  masa depan. Dari bencana alam bisa berubah menjadi tragedi kemanusiaan. Banyak atau tidaknya korban berjatuhan dan kerusakan yang terjadi bergantung pada seberapa gesit organisasi kebencanaan dalam bertindak.

Karena itu, manajemen dalam organisasi kebencanaan punya peran penting. Pemimpin berada di titik fokus mereka. Ini menjadi tugas yang berat bagi pemimpin di bidang kebencanaan.

Mereka harus sigap dalam mengambil keputusan dan cepat untuk turun langsung ke lapangan. Hal itu membutuhkan koordinasi yang cepat dan akurat pula.

Namun, yang paling penting adalah pemimpin perlu menyesuaikan komunikasi sesuai dengan fase kebencanaan. Ada dua jenis komunikasi dalam fase kebencanaan, yaitu komunikasi risiko dan komunikasi krisis.

Dua jenis komunikasi ini berbeda. Komunikasi risiko dilakukan agar masyarakat mendapatkan pengetahuan secara real-time terkait situasi yang dihadapi, sehingga bisa mengantisipasi risiko-risiko yang datang.

Contohnya adalah ketika terjadi gempa bumi yang berpotensi memunculkan tsunami. Para pakar atau ahli akan menyampaikan bahwa gempa yang terjadi dapat berpotensi menimbulkan tsunami.

Para ahli akan mengimbau masyarakat untuk mengambil langkah preventif agar tidak menjadi korban keganasan tsunami.

Lain halnya dengan komunikasi krisis. Pada saat Covid-19, kita sering mendengar juru bicara satgas Covid-19 dan kementerian kesehatan menyampaikan informasi - informasi tentang Covid-19 dan bagaimana mereka berusaha menenangkan masyarakat. Itulah komunikasi krisis.

Para ahli dan pemangku kebijakan berusaha mendinginkan situasi agar tidak terjadi dampak yang lebih besar dan merugikan. Imbauan untuk tetap berkegiatan di rumah adalah contoh komunikasi krisis.

Dalam perspektif sistemik, pemimpin perlu membangun sebuah sistem yang bisa meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana, baik itu di masyarakat kota juga urban.

Membangun kesadaran akan pentingnya pencegahan dan penanggulangan bencana adalah hal yang harus dilakukan setiap institusi mulai dari sekarang. Komunikasi menjadi fondasi terpenting agar publik bisa mengetahui informasi terkait kebencanaan dan bagaimana mengantisipasinya.

Berbagai bencana di banyak daerah di Indonesia menjadi wake up call bagi para pemimpin untuk lebih sadar akan mitigasi bencana, sehingga jumlah korban bisa diminimalisir.

Seluruh institusi perlu mengomunikasikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan jika ada bencana. Supaya masyarakat memiliki gambaran yang lebih utuh tentang tindakan yang bisa dilakukan.

Ada berbagai pola komunikasi bencana yang dapat diterapkan. Salah satunya melalui kearifan lokal.

Kita bisa belajar dari masyarakat Simeulue Aceh. Mereka punya sistem deteksi dini dengan kearifan lokalnya yang disebut Nandong. Nandong terbukti efektif sebagai alat mitigasi bencana karena pada tsunami tahun 2004, Simeulue menelan korban yang secara angka sangat sedikit.

Masyarakat Simeulue memiliki syair dan lagu tentang tsunami, yang membuat mereka belajar tentang bahaya bencana alam tersebut melalui tanda-tanda alam. Ketika tsunami menyerang, masyarakat Simeulue dapat menyelamatkan diri dan hasilnya, mereka menelan korban paling sedikit di antara wilayah Aceh.

Kearifan lokal yang didemonstrasikan masyarakat Simeulue adalah contoh nyata bagaimana sistem deteksi dini bencana alam di tingkat komunitas. Nandong merupakan bentuk komunikasi risiko sekaligus krisis, yang menyampaikan bahaya tsunami dan bagaimana pencegahannya.

Kita memiliki kearifan lokal yang melimpah dan itu bisa menjadi aset kita untuk melakukan komunikasi yang holistik terkait bencana. Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal dan sistemnya tersendiri.

Dari sistem yang sudah ada ini, masyarakat mulai membangun perspektifnya sendiri dan akhirnya perlahan terbangunlah ketahanan masyarakat akan bencana. Itu bisa berarti adanya kepemimpinan yang kuat di masyarakat Simeulue.

Tentu tidak bisa dipungkiri jika masyarakat tidak mendengarkan pemimpinnya, korban jiwa dari masyarakat Simeulue akan jauh lebih banyak. Kita bisa memanfaatkan kearifan lokal sebagai media komunikasi kebencanaan.

Menguatkan kapasitas

Membangun sistem pencegahan dan penanggulangan bencana sangat diperlukan. Pemerintah pusat sadar akan hal itu dan telah bergerak untuk membuat sistem ketahanan bencana.

BNPB membangun sistem yang disebut Destana/Kestana (Desa/Kelurahan tangguh bencana). Tujuannya adalah membangun kapabilitas desa di setiap wilayah agar mampu menghadapi bencana.

Dari tahun 2001 sampai 2020, sebanyak 1.116 desa sudah berhasil dibangun. BNPB masih terus berupaya membangun destana/keltana. Sayangnya, jumlah tersebut masih sangat kurang untuk menguatkan kapasitas mitigasi bencana.

Menurut Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan pada tahun 2021, ada 53 ribu desa yang terletak di lokasi rawan bencana.

Tidak hanya masyarakat desa, masyarakat perkotaan pun juga rawan terkena bencana. Dalam nota kebijakan yang dirilis oleh Bank Dunia berjudul Strengthening the Disaster Resilience of Indonesian Cities 2019 menyebutkan, ada sekitar 110 juta orang di 60 kota di Indonesia yang terpapar bencana alam.

Selain itu, pada tahun 2019, berdasarkan data dari Informasi Data Bencana Indonesia, sebanyak 4.856 bencana telah terjadi di 29 wilayah kota metropolitan dan satu kabupaten metropolitan. Ditambah lagi, tingkat kerawanan bencana di Indonesia memang tinggi.

Menurut studi Bank Dunia beberapa tahun yang lalu, hampir 75 persen infrastruktur di Indonesia dibangun pada zona rawan bencana. Hal ini yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar karena harus merevitalisasi kembali infrastruktur penting yang terkait dengan industri dan konektivitas.

Menurut data BNPB, kerugian ekonomi mencapai 0,05 persen dari PDB Indonesia pada tahun 2017 lalu. Oleh karena itu, setiap desa perlu dibekali mitigasi bencana, terlepas desa tersebut ada di daerah rawan bencana atau tidak.

Peran masyarakat dan komunitas sangat penting, terlebih akses edukasi juga melimpah ruah. Masyarakat perlu mengedukasi diri sendiri. Koordinasi dari hulu ke hilir perlu kita matangkan bersama. Karena Indonesia adalah negara kepulauan dan daerahnya punya karakter masing-masing, koordinasi perlu diupayakan dengan mengoptimalkan keberadaan pemimpin lokal dan organisasi daerah BPBD.

Selain itu, cara mitigasinya pun juga akan berbeda. Pemimpin lokal seperti kepala desa atau penggerak komunitas dapat berperan besar karena mereka memiliki pengetahuan lebih luas tentang kondisi di daerahnya.

Terlebih, masyarakat di sana kemungkinan lebih percaya kepada pemimpin lokal yang mendemonstrasikan keberaniannya. Mereka yang menjadi leading actor dalam penanganan bencana di daerahnya.

Dengan kondisi seperti itu, BNPB dapat memberikan support sesuai kebutuhan daerah dan memberikan ruang bagi pemimpin lokal untuk memimpin jalannya mitigasi bencana. Mereka lebih mengetahui kondisi dan punya kedekatan daerah yang membuat mitigasi bencana menjadi lebih mudah.

Terlebih, satu aspek penting dalam manajemen kebencanaan adalah mengomunikasikan hal-hal yang perlu dikomunikasikan dengan membawa harapan dan optimisme serta kejelasan. Pemimpin lokal memiliki kelebihan di aspek itu.

BNPB juga harus terus menguatkan kapasitas daerah-daerah. Apa yang dilakukan BNPB sudah tepat dengan membentuk destana atau keltana.

Salah satu aspek yang perlu dikuatkan adalah kepemimpinan di masing-masing daerah. Sangat penting untuk menguatkan kapasitas kepemimpinan setiap daerah agar mereka bisa melakukan sesuatu di komunitasnya.

Memasukkan kurikulum mitigasi bencana ke tingkat pendidikan menjadi solusi yang bisa diterapkan. Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Profesor H Ahmad Suriansyah menuturkan bahwa pendidikan mitigasi bencana perlu diberikan secara kontinyu.

Ia mengatakan, “Jadi prinsipnya edukasi mitigasi bencana harus terprogram betul, jangan sampai hanya satu kali saja ketika masa pengenalan peserta didik baru atau bahkan tidak pernah sama sekali.”

Hadirnya pemimpin sadar bencana

Secara prinsipil, setiap pemimpin harus memiliki kesadaran akan bahaya bencana. Perlunya menumbuhkan self-awareness dan membangun kapasitas dirinya, baik segi kemampuan maupun emosional.

Kemampuan membaca situasi di tengah ketidakpastiaan juga harus dimiliki: siapa aktor yang terlibat, bagaimana kelanjutan dari sebuah bencana, dan apa yang bisa dilakukan di tengah krisis.

Semua itu harus dikomunikasikan secara akurat dan transparan supaya bisa membangun kesadaran kolektif dan koneksi, baik itu ke anggota yang terlibat, korban, pegiat komunitas, dan lain sebagainya.

Terakhir, tentunya pemimpin memiliki jiwa gotong royong yang besar. Bencana tidak bisa diselesaikan sendiri. Kita bisa menyelesaikan berbagai bencana karena rakyat Indonesia bekerja sama.

Ada yang menyumbangkan sebagian besar uangnya, terjun ke lapangan, menyumbangkan logistik, dan lain sebagainya. Terlebih, banyak kabar beredar tentang hadirnya beragam musibah baru, contohnya adalah krisis pangan.

Organisasi Pangan Dunia, FAO, mencatat kenaikan yang cukup tinggi orang yang rentan kelaparan. Tahun 2019, jumlahnya 135 juta orang, tetapi meningkat menjadi 193 juta orang tahun 2021.

Selain itu, jumlah negara yang rakyatnya hidup dalam kondisi kelaparan bertambah, dari dua negara menjadi lima negara.

Laporan SOFI 2022, angka kelaparan penduduk dunia meningkat, dari 782 juta di tahun 2021 ke 828 juta orang tahun 2022.

Selain itu, menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, masyarakat yang tinggal di bantaran atau lembah sungai dan perbukitan harus waspada terhadap banjir. Menurut Climate Outlook 2023 yang dibuat BMKG, beberapa wilayah akan mendapatkan curah hujan yang tinggi per tahun, yakni 2.500 mm/tahun, sehingga berpotensi terjadi banjir.

Dari fakta di atas, mitigasi bencana dari hulu ke hilir membutuhkan sinergi institusi dan kepemimpinan. Pemimpin memilki peran penting agar program dan kebijakan berjalan harmonis antara satu institusi dan institusi lainnya, mulai dari pre-crisis, crisis, dan post-crisis.

Contoh penanganan pre-crisis adalah bagaimana BPBD melakukan sosialisasi mitigasi bencana di rutan Mamuju, karena Mamuju termasuk daerah rawan bencana. Selain itu, BPBD Palu juga membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) guna menghadapi ancaman hidrometeorologi.

Pada masa krisis, kita bisa melihat bagaimana koordinasi BNPB dengan Polri, TNI, dan kementerian terkait dalam menangani krisis, mulai dari mempersiapkan infrastruktur vital, pemakanan, sampai evakuasi.

Dalam proses penanganan pasca bencana, Kementerian PUPR berhasil membangun sebanyak 630 hunian sejak tahun 2020. Hunian tersebut merupakan bagian dari program penanganan pasca-bencana gempa Palu-Donggala tahun 2018.

Menurut Setiadi Murwanto, Kepala Kapala Satuan Tugas Pelaksanaan Penanggulangan Paska Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Sulawesi Tengah, masih ada 775 hunian tetap yang dibangun dan direncanakan selesai pada Juli tahun 2023.

Dari beberapa tahap penanganan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam manajemen bencana perlu kepemimpinan yang empatik, resilien, dan dapat berkomunikasi dengan efektif, sehingga mitigasi bencana dapat berjalan efektif dan efisien.

Apabila semua institusi dari level makro dan mikro memiliki kepemimpinan yang kuat dan berpola pikir kolaborasi, mitigasi bencana di seluruh organisasi di Indonesia dapat bersinergi dan dapat mengatasi berbagai hambatan yang ada di depan. Indonesia pasti bisa!

https://www.kompas.com/tren/read/2022/10/20/070000265/urgensi-kepemimpinan-sadar-bencana

Terkini Lainnya

Bisakah Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan Cair Sebelum Pensiun?

Bisakah Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan Cair Sebelum Pensiun?

Tren
Ini Nasib Barang yang Tertahan Bea Cukai tapi Tidak Diambil Pemiliknya

Ini Nasib Barang yang Tertahan Bea Cukai tapi Tidak Diambil Pemiliknya

Tren
Panggung Kampanye Capres di Meksiko Roboh, 9 Orang Meninggal dan Puluhan Luka-luka

Panggung Kampanye Capres di Meksiko Roboh, 9 Orang Meninggal dan Puluhan Luka-luka

Tren
Matahari Tepat di Atas Kabah 27 Mei, Ini Cara Meluruskan Kiblat Masjid

Matahari Tepat di Atas Kabah 27 Mei, Ini Cara Meluruskan Kiblat Masjid

Tren
Kisah Pilu Simpanse yang Berduka, Gendong Sang Bayi yang Mati Selama Berbulan-bulan

Kisah Pilu Simpanse yang Berduka, Gendong Sang Bayi yang Mati Selama Berbulan-bulan

Tren
Bobot dan Nilai Minimum Tes Online 2 Rekrutmen BUMN 2024, Ada Tes Bahasa Inggris

Bobot dan Nilai Minimum Tes Online 2 Rekrutmen BUMN 2024, Ada Tes Bahasa Inggris

Tren
6 Artis yang Masuk Bursa Pilkada 2024, Ada Ahmad Dhani dan Raffi Ahmad

6 Artis yang Masuk Bursa Pilkada 2024, Ada Ahmad Dhani dan Raffi Ahmad

Tren
7 Dokumen Syarat Pendaftaran CPNS 2024 yang Wajib Disiapkan

7 Dokumen Syarat Pendaftaran CPNS 2024 yang Wajib Disiapkan

Tren
Kelompok yang Boleh dan Tidak Boleh Beli Elpiji 3 Kg, Siapa Saja?

Kelompok yang Boleh dan Tidak Boleh Beli Elpiji 3 Kg, Siapa Saja?

Tren
Jarang Diketahui, Ini Manfaat dan Efek Samping Minum Teh Susu Setiap Hari

Jarang Diketahui, Ini Manfaat dan Efek Samping Minum Teh Susu Setiap Hari

Tren
Pertamina Memastikan, Daftar Beli Elpiji 3 Kg Pakai KTP Tak Lagi Dibatasi hingga 31 Mei 2024

Pertamina Memastikan, Daftar Beli Elpiji 3 Kg Pakai KTP Tak Lagi Dibatasi hingga 31 Mei 2024

Tren
Benarkah Makan Cepat Tingkatkan Risiko Obesitas dan Diabetes?

Benarkah Makan Cepat Tingkatkan Risiko Obesitas dan Diabetes?

Tren
BMKG: Daftar Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 24-25 Mei 2024

BMKG: Daftar Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 24-25 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Ikan Tinggi Natrium, Pantangan Penderita Hipertensi | Sosok Pegi Pelaku Pembunuhan Vina

[POPULER TREN] Ikan Tinggi Natrium, Pantangan Penderita Hipertensi | Sosok Pegi Pelaku Pembunuhan Vina

Tren
8 Golden Rules JKT48 yang Harus Dipatuhi, Melanggar Bisa Dikeluarkan

8 Golden Rules JKT48 yang Harus Dipatuhi, Melanggar Bisa Dikeluarkan

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke