Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Happy Crazy, Indeks Kebahagiaan Dunia, dan Digital Happiness

BARANGKALI suatu ironi, tatkala tanggal 20 Maret 2022 kita di seantero bumi memperingati Hari Kebahagiaan Internasional yang telah ditetapkan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) sejak tahun 2013 lalu, sedang dunia tengah dicekam berkecamuknya perang Rusia lawan Ukraina yang berpotensi menjadi Perang Dunia ke-3 bila pihak Amerika Serikat dan sekutunya terlibat.

Nyaris bersamaan dengan hal itu, dirilislah World Happiness Report 2022 yang menampilkan daftar negara paling bahagia dan paling tidak bahagia di dunia.

Berdasarkan laporan tersebut, ternyata Afghanistan dinobatkan menjadi negara paling tidak bahagia di dunia (bukan Ukraina).

World Happiness Report adalah laporan yang dikeluarkan oleh Sustainable Development Solutions Network untuk PBB. Dari 146 negara yang dipantau, Afghanistan menempati urutan terbawah.

Sementara negara paling bahagia lagi-lagi jatuh kepada Finlandia seperti beberapa tahun terakhir, negara-negara Skandinavia mendominasi jajaran teratas negara-negara paling bahagia di dunia.

World Happiness Report memeringkatkan seluruh negara di dunia berdasarkan variabel/indikator yang dinilai menjadi faktor tumbuhnya kebahagiaan: mulai dari pendapatan (GDP), kebebasan, kepercayaan, harapan hidup sehat, dukungan sosial, hingga kemurahan hati.

Berdasarkan World Happiness Report 2022, Indonesia rupanya menempati urutan ke 87 dalam daftar negara paling bahagia di dunia, hanya unggul dari sejumlah negara ASEAN lain, yakni Laos di urutan ke-95 dan Kamboja yang ada di posisi ke-114.

Selebihnya, negara-negara ASEAN lain memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih baik.

Adakah hal ini valid dan menggambarkan realitas sesungguhnya?

Banyak hal bisa diperdebatkan baik secara metodologis maupun teknis pengumpulan datanya walau menggunakan big data analytics sekalipun.

Adalah Bhutan negara yang secara terus-terang tidak sependapat dengan laporan ini. Di tahun 2013 itu, Tshering Tobgay selaku perdana menteri Bhutan menandaskan bahwa bagi negerinya, Gross Domestic Happiness (GDH) adalah lebih penting dan bermakna tinimbang Gross Domestic Product (GDP) yang menjadi salah satu indikator pengukur indeks kebahagiaan dunia dalam laporan tersebut.

Pada titik ini, Bhutan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebahagiaan tidaklah selalu identik dengan gemerlapnya kehidupan dan pesatnya kemajuan teknologi yang makin mendominasi hidup keseharian kita.

Sebagaimana kemudian ditandaskan oleh ilmuwan Amerika Latin Edgar Cabanas dan Eva Illous dari Israel (2019), saat ini kebahagiaan mampu diwujudkan melalui implementasi sain dan menjadikannya suatu komoditas industri yang mengendalikan hidup kita.

Bahkan kedua ilmuwan ini memperingatkan publik bahwa kita tengah menghadapi bentuk baru manipulasi masyarakat dan orang per orang menggunakan apa yang paling mereka sayangi dan apa yang paling mereka cari: kebahagiaan. Inilah yang disebut sebagai happy crazy.

Happy cracy adalah ‘penyakit’ ingin meraih kebahagiaan dengan segala cara, memanfaatkan kecanggihan ilmu dan teknologi terkini.

Dalam konteks Amerika Selatan, misalnya, janji fantastis Happify aplikasi teknologi berdasarkan "sain" yang "meningkatkan kesehatan emosional" ternyata cukup banyak dipakai khalayak.

Melalui aplikasi ini kita dituntun untuk mewujudkan kebahagiaan kendati dunia mungkin runtuh di sekitar kita, tetapi dengan pendekatan positif, setiap subjek dapat membalikkan keadaan; sesuai dengan arahan yang diberikan oleh guru atau pelatih kita dalam aplikasi digital tersebut.

Dalam happy crazy, manusia yang sejatinya memiliki hak atas kebahagiaan, tetapi sekarang hak tersebut menjadi kewajiban, kebahagiaan telah menjadi obsesi, beralih rupa menjadi "hadiah beracun", untuk melayani sistem ekonomi saat ini yang dirasuki kapitalisme neoliberal.

Celakanya, adalah sain, teknologi dan industri yang menjual gagasan tentang kebahagiaan, "untuk melayani nilai-nilai yang dipaksakan oleh revolusi budaya neoliberal".

Dalam garis ini, kekayaan dan kemiskinan, kesuksesan dan kegagalan, kesehatan dan penyakit, adalah hasil dari tindakan kita sendiri, bukan dari konteks di mana kita hidup, yang diciptakan untuk kita oleh ekonomi neoliberal.

Kita berkewajiban untuk bahagia dan, jika tidak, kita harus merasa bersalah karena tidak mengatasi kesulitan yang dihadapi.

Senantiasa coba ditegakkan cara berpikir bahwa: ‘’Anda bisa bahagia jika Anda mau, karena jika Anda menderita itu juga karena Anda ingin, Anda dicurigai ingin tetap buruk, tidak menempatkan cara yang diperlukan untuk berhenti menjadi buruk, berhenti cemas atau berhenti merasa tidak berdaya," kata Cabanas.

Begitulah visi reduksionis dan mementingkan diri sendiri tentang hidup keseharian nan normal dan dialiri oleh ajaran ilmu kebahagiaan (happiness science) yang oleh Cabanas dan Eva disebutkan dengan jelas: gagasan kebahagiaan saat ini adalah untuk melayani nilai-nilai revolusi ekonomi neoliberal.

Bahwa kebahagiaan ada di mana-mana hari ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Industri kebahagiaan sangat menguntungkan, tersebar luas, dan diliputi oleh argumen ilmiah psikologi positif.

Menjual sesuatu dengan dukungan legitimasi ilmiah menjadikannya produk yang berharga dan diinginkan.

Itulah sebabnya, saat ini, kebahagiaan adalah produk yang dibeli melalui terapi, layanan berbagai pelatihan dan motivasi, panduan, nasihat, pembinaan, perhatian, dan sebagainya.

Semua itu adalah produk yang murah untuk diproduksi dan menghasilkan keuntungan yang sangat besar.

Di Amerika, merujuk data dari International Coaching Federation, pasar aneka pelatihan dan coaching tentang kebahagiaan mencapai 955 juta dolar di tahun 2015, lalu meningkat menjadi 705 juta dolar di tahun 2011 dan diperkirakan bisa mencapai 1,3 milyar dolar di tahun 2022 ini!

Dengan munculnya teknologi digital, realitas virtual (kehidupan non-nyata) kian semarak.

Bila terus berkembang, seperti makin digalakkannya implementasi metaverse, maka makin dominanlah augmented reality yang bukan hanya realitas virtual, karena teknologi digital memungkinkan campuran dua realitas: nyata dan virtual.

Dengan kata lain, suatu augmented society bakal menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari yang amat mungkin tak terelakkan, tak terkecuali dalam upaya mengimlementasikan spirit happy crazy tadi.

Dalam konteks demikian, harus dipahami bahwa di Indonesia saat ini banyak sekali public figure (atau mereka yang menjadikan dirinya public figure) yang membuat konten hedonisme mempertontonkan melimpahnya kekayaan dalam digital platform.

Hal ini menimbulkan rasa iri bagi masyarakat yang melihatnya dan akhirnya mendambakan kehidupan tersebut hingga ada yang tertipu dalam jaringan investasi ilegal berbalut iming-iming kekayaan instan.

Inilah yang tengah terjadi di tanah air kita, tatkala dana mencapai triliun rupiah disalah-gunakan oleh para afiliator yang memanfaatkan dunia digital demi memperkaya diri serta merugikan sekian banyak orang yang penuh harapan akan cepat kaya.

Adakah kebahagiaan sejati dan kebahagiaan digital (digital happiness) melingkupi mereka? Suatu tanya reflektif yang seyogyanya kita luangkan waktu untuk menjawabnya secara kritis dan apa adanya.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/26/070000565/happy-crazy-indeks-kebahagiaan-dunia-dan-digital-happiness-

Terkini Lainnya

[POPULER TREN] Taruna TNI Harus Pakai Seragam ke Mal dan Bioskop? | Apa Tugas Densus 88?

[POPULER TREN] Taruna TNI Harus Pakai Seragam ke Mal dan Bioskop? | Apa Tugas Densus 88?

Tren
Berencana Tinggal di Bulan, Apa yang Akan Manusia Makan?

Berencana Tinggal di Bulan, Apa yang Akan Manusia Makan?

Tren
Ustaz Asal Riau Jadi Penceramah Tetap di Masjid Nabawi, Kajiaannya Diikuti Ratusan Orang

Ustaz Asal Riau Jadi Penceramah Tetap di Masjid Nabawi, Kajiaannya Diikuti Ratusan Orang

Tren
Gratis, Ini 3 Jenis Layanan yang Ditanggung BPJS Kesehatan Sesuai Perpres Terbaru

Gratis, Ini 3 Jenis Layanan yang Ditanggung BPJS Kesehatan Sesuai Perpres Terbaru

Tren
Respons Kemenkominfo soal Akun Media Sosial Kampus Jadi Sasaran Peretasan Judi Online

Respons Kemenkominfo soal Akun Media Sosial Kampus Jadi Sasaran Peretasan Judi Online

Tren
Ketahui, Ini 8 Suplemen yang Bisa Sebabkan Sakit Perut

Ketahui, Ini 8 Suplemen yang Bisa Sebabkan Sakit Perut

Tren
Batu Kuno Ungkap Alasan Bolos Kerja 3.200 Tahun Lalu, Istri Berdarah dan Membalsam Mayat Kerabat

Batu Kuno Ungkap Alasan Bolos Kerja 3.200 Tahun Lalu, Istri Berdarah dan Membalsam Mayat Kerabat

Tren
Ditemukan di Testis, Apa Bahaya Mikroplastik bagi Manusia?

Ditemukan di Testis, Apa Bahaya Mikroplastik bagi Manusia?

Tren
Pegi Teriak Fitnah, Ini Fakta Baru Penangkapan Tersangka Kasus Pembunuhan Vina

Pegi Teriak Fitnah, Ini Fakta Baru Penangkapan Tersangka Kasus Pembunuhan Vina

Tren
Ikang Fawzi Antre Layanan di Kantor BPJS Selama 6 Jam, BPJS Kesehatan: Terjadi Gangguan

Ikang Fawzi Antre Layanan di Kantor BPJS Selama 6 Jam, BPJS Kesehatan: Terjadi Gangguan

Tren
Beredar Isu Badai Matahari 2025 Hilangkan Akses Internet Berbulan-bulan, Ini Penjelasan Ahli

Beredar Isu Badai Matahari 2025 Hilangkan Akses Internet Berbulan-bulan, Ini Penjelasan Ahli

Tren
Mengenal Jampidsus, Unsur 'Pemberantas Korupsi' Kejagung yang Diduga Dikuntit Densus 88

Mengenal Jampidsus, Unsur "Pemberantas Korupsi" Kejagung yang Diduga Dikuntit Densus 88

Tren
Starlink dan Literasi Geospasial

Starlink dan Literasi Geospasial

Tren
Saat Pegi Berkali-kali Membantah Telah Bunuh Vina, Sebut Fitnah dan Rela Mati...

Saat Pegi Berkali-kali Membantah Telah Bunuh Vina, Sebut Fitnah dan Rela Mati...

Tren
5 Kasus Besar yang Tengah Ditangani Jampidsus di Tengah Dugaan Penguntitan Densus 88

5 Kasus Besar yang Tengah Ditangani Jampidsus di Tengah Dugaan Penguntitan Densus 88

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke