Aturan baru tersebut, yakni Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT).
Manfaat JHT akan diberikan kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan saat berusia 56 tahun, tertulis di Pasal 3 Permenaker tersebut.
Padahal, pada aturan sebelumnya yang termaktub dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, JHT bisa diklaim setelah satu bulan usai pekerja mengundurkan diri dari tempat bekerja.
Sebagai gantinya, pekerja akan mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan besaran sesuai iuran yang dibayarkan ke BP Jamsostek.
Bagaimana tanggapan dari ahli?
Terlalu terburu-buru
Menanggapi hal itu, dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Risfa Izzati menilai, kebijakan JHT ini terlalu terburu-buru.
Pasalnya, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) merupakan program baru yang pelaksanaan dan efektifitasnya belum diketahui di lapangan.
"Policy-nya mungkin tepat, tapi waktunya tidak tepat alias terlalu terburu-buru," kata Nabiyla, dalam akun Twitternya @nabiylarisfa, Jumat (11/2/2022).
"Kita belum tahu nih, pelaksanaannya (JKP) di lapangan bagaimana. Efektif enggak dijadikan safety net bagi orang-orang yang kehilangan pekerjaan? Lancar enggak, uangnya? Mudah enggak, prosesnya?" sambungnya.
Kompas.com telah mendapat izin untuk mengutip pernyataan Nabiyla terkait aturan JHT dalam twit tersebut.
Ia menjelaskan, secara aturan banyak pekerja tidak bisa mendapatkan JKP karena pembatasan-pembatasannya, misalnya orang yang keluar dari pekerjaan (resign).
Padahal, Nabiyla melihat banyak pekerja yang dipecat tetapi diminta untuk tanda tangan surat pengunduran diri.
Selain pekerja yang resign, pekerja yang berstatus perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) juga tidak bisa mendapatkan JKP.
"Padahal, pasca UU Cipta Kerja akan makin banyak orang yang pakai kontrak kerja PKWT saja, karena durasinya bisa singkat-singkat dan diperpanjang saja terus sampai 5 tahun," jelas dia.
"Orang yang PKWT-nya tiba-tiba tidak diperpanjang tidak bisa dapat JKP," sambungnya.
Kondisi tersebut diperburuk dengan realita di lapangan bahwa aturan pesangon hanya baik di atas kertas.
Menurutnya, banyak perusahaan yang tidak memberi pesangon sesuai ketentuan. Pada akhirnya, pekerja yang terkena PHK tidak dapat apa pun.
"Hal ini yang luput dalam pengambilan kebijakan soal JHT yang terasa buru-buru ini," ujarnya.
"Memang betul JHT Idealnya adalah tabungan di hari tua. Masalahnya, kondisi ketenagakerjaan kita memang masih jauh dari ideal, jadi kemarahan yang muncul ya wajar," tambahnya.
Apalagi, pengelolaan uang dari lembaga asuransi plat merah yang berantakan karena korupsi, membuat kepercayaan publik semakin turun.
Oleh karena itu, Nabiyla meminta agar pemerintah lebih dulu menjalankan JKP beberapa tahun, sebelum menerapkan aturan terkait JHT.
"Baiknya tunggu dulu JKP ini jalan beberapa tahun. Evaluasi gimana pelaksanaanya, benerin loophole-nya. Jika ini sudah jalan baik, baru kemudian berangsur bikin perubahan aturan soal JHT agar kembali ke 'khittahnya' jadi jaminan di masa tua," tutupnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/13/160000065/aturan-pencairan-jht-di-usia-56-tahun-dinilai-terburu-buru-ini-alasannya