Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

OTT KPK, Edhy Prabowo, dan Temuan Barang Mewah...

KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.

Selain Edhy, KPK juga menetapkan enam tersangka lainnya, yakni staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri, staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Pribadi Misata, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, serta seorang bernama Amiril Mukminin.

Seperti diberitakan sebelumnya, KPK menangkap Edhy Prabowo dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (25/11/2020) dini hari.

Edhy ditangkap bersama istri dan sejumlah staf Kementerian Kelautan dan Perikanan sepulangnya dari kunjungan kerja di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.

Total pihak yang diamankan KPK berjumlah 17 orang, termasuk sejumlah pihak lain di Jakarta dan Depok.

Dari hasil tangkap tangan tersebut, KPK menyita sejumlah barang bukti, mulai dari jam tangan Rolex, tas Hermes hingga tas koper merek Louis Vuitton.

Sejumlah barang mewah dengan harga mencapai Rp 750 juta tersebut disebutkan merupakan barang belanjaan Edhy dan istrinya sepulang kunker dari Hawai.

Menanggapi adanya temuan sejumlah barang mewah yang diduga dari uang suap tersebut, dosen Sosiologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Siti Zunariyah mengatakan bahwa perilaku konsumtif Edhy Prabowo dan istri dalam membeli barang-barang mewah adalah salah satu bentuk dari masyarakat post-modern atau menjadi bagian dari konsekuensi terhadap modernisasi.

"Masyarakat post-modern ditandai dengan perubahan-perubahan dalam relasi ekonomi," ujar Siti kepada Kompas.com, Kamis (26/11/2020).

Siti menjelaskan, menurut Baudrillard (seorang filsuf Perancis), dalam masyarakat post-modern, nilai tanda dan nilai simbol telah menggantikan nilai guna dan nilai tukar.

Nilai tanda dan nilai simbol dapat diartikan pula sebagi produk-produk barang mewah dengan merek tertentu yang menjadi simbol kelas sosial tertentu, simbol status sebagai kelas sosial yang lebih tinggi daripada yang lain.

"Maka, meskipun nilai tukar dan nilai gunanya sama dengan produk lain, namun karena tidak memiliki nilai simbol dan nilai tanda, maka produk itu tidak akan dia beli," katanya.

Selain itu, terdapat adagium khas masyarakat post-modern "saya belanja maka saya ada".

Artinya, masyarakat post-modern akan memilliki eksistensi jika mampu mengkonsumsi barang-barang mewah dengan merek tertentu, akan mendapatkan pengakuan dari kelompoknya dan masyarakat lain terhadap status yang sedang melekat padanya.

Siti mengungkapkan, bagi orang-orang tersebut, nilai tanda dan nilai tukar akan mampu memperkuat dan memperkokoh status dan kedudukan mereka dalam masyarakat.

Akibatnya, demi mengejar status dan pengakuan tersebut, maka sejumlah upaya pun mereka lakukan.

"Perilaku tersebut tidak luput dari dorongan sosial yang mendorong mereka untuk berperilaku yang dianggap 'ideal' oleh kelompok masyarakat tertentu," kata dia.

Hal ini juga didorong dengan adanya iklan dan media. Sehingga demi mengejar tuntutan tersebut maka hal-hal yang tidak benar pun dilakukan.

Hidup menjadi tontonan

Selain itu, Siti juga menjelaskan mengenai teori dari Guy Debord tentang "the society of the spectacle" yang menyebut bahwa pada masyarakat modern telah menjadikan semua hal dalam hidupnya sebagai komoditas yang kemudian disulap menjadi tontonan (spectacle) dan ditampilkan dan disebar oleh media massa.

"Tontonan adalah produksi utama dalam masyarakat kekinian yang tidak hanya dipahami sebagai kumpulan gambar-gambar, melainkan yang lebih penting tontonan itu adalah relasi sosial di antara masyarakat modern dan dimediasi oleh citra atau simbol," kata Siti.

Kendati demikian, realitas akan menjadi tontonan jika mengenakan simbol dan tanda tertentu sehingga ia menjadi obyek, demikian pula para konsumen akan memilih tanda dan simbol yang melekat pada suatu barang agar iapun bisa menjadi tontonan.

"Demikianlah, maka telah kabur batas-batas antara manusia yang seharusnya menjadi subyek dengan barang-barang yang dia konsumsi atau dia pakai yang seharusnya menjadi obyek," lanjut dia.

Akibatnya, kedua hal ini menjadi lebur dan kabur sehingga sulit untuk dibedakan, mana yang obyek dan mana yang subjek.

Siti mengungkapkan, peran gaya hidup dapat digambarkan sebagai representasi dunia simulasi.

Menurutnya, dengan simulasi, identitas sesorang tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri, akan tetapi ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang lain.

Adapun peran media sosial juga turut mendorong perilaku konsumtif dengan nilai simbol dan nilai tanda tertentu.

"Media sosial ini yang mempengaruhi cara berpikir dan menstimulasi pilihan-pilihan gaya hidup seseorang," katanya lagi.

"Kondisi inilah lalu yang mendorong seseorang semakin besar kamauannya untuk mengikuti trend dan perilaku konsumsi yang dianggap layak dan umum," lanjut dia.

Hal ini dikarenakan, yang bersangkutan adalah pejabat publik, berperilaku yang mengikuti gaya hidup juga dianggap sebagai kewajiban "sosial" mereka agar tetap dianggap menjadi bagian dari kelas sosial tertentu.

Siti mengingkan, jika para pejabat berperilaku biasa, tidak mengikuti cara dan gaya hidup kelompoknya, maka ada ketakutan pada diri mereka bahwa mereka mungkin akan tidak diakui, pun demikian masyarakat.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/27/150500165/ott-kpk-edhy-prabowo-dan-temuan-barang-mewah

Terkini Lainnya

Presiden Iran Meninggal, Apa Pengaruhnya bagi Geopolitik Dunia?

Presiden Iran Meninggal, Apa Pengaruhnya bagi Geopolitik Dunia?

Tren
Tanda Seseorang Kemungkinan Psikopat, Salah Satunya dari Gerakan Kepala

Tanda Seseorang Kemungkinan Psikopat, Salah Satunya dari Gerakan Kepala

Tren
5 Pillihan Ikan untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Bantu Tubuh Lebih Sehat

5 Pillihan Ikan untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Bantu Tubuh Lebih Sehat

Tren
Apakah Masyarakat yang Tidak Memiliki NPWP Tak Perlu Membayar Pajak?

Apakah Masyarakat yang Tidak Memiliki NPWP Tak Perlu Membayar Pajak?

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 21-22 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 21-22 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Kasus Covid-19 di Singapura Naik Hampir Dua Kali Lipat | Ayah dan Anak Berlayar Menuju Tempat Terpencil di Dunia

[POPULER TREN] Kasus Covid-19 di Singapura Naik Hampir Dua Kali Lipat | Ayah dan Anak Berlayar Menuju Tempat Terpencil di Dunia

Tren
Apa Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi di Iran?

Apa Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi di Iran?

Tren
Jadwal dan Susunan Peringatan Waisak 2024 di Borobudur, Ada Festival Lampion

Jadwal dan Susunan Peringatan Waisak 2024 di Borobudur, Ada Festival Lampion

Tren
Berkaca dari Kasus Wanita Diteror Teman Sekolah di Surabaya, Apakah Stalker atau Penguntit Bisa Dipidana?

Berkaca dari Kasus Wanita Diteror Teman Sekolah di Surabaya, Apakah Stalker atau Penguntit Bisa Dipidana?

Tren
Studi Ungkap Obesitas pada Anak Bisa Kurangi Setengah Harapan Hidupnya

Studi Ungkap Obesitas pada Anak Bisa Kurangi Setengah Harapan Hidupnya

Tren
Presiden Iran Ebrahim Raisi Meninggal karena Kecelakaan Helikopter, Siapa Penggantinya?

Presiden Iran Ebrahim Raisi Meninggal karena Kecelakaan Helikopter, Siapa Penggantinya?

Tren
Cara Menambahkan Alamat Rumah di Google Maps, Bisa lewat HP

Cara Menambahkan Alamat Rumah di Google Maps, Bisa lewat HP

Tren
3 Idol Kpop yang Tersandung Skandal Burning Sun

3 Idol Kpop yang Tersandung Skandal Burning Sun

Tren
Spesifikasi Helikopter Bell 212 yang Jatuh Saat Membawa Presiden Iran

Spesifikasi Helikopter Bell 212 yang Jatuh Saat Membawa Presiden Iran

Tren
7 Makanan Obat Alami Asam Urat dan Makanan yang Harus Dihindari

7 Makanan Obat Alami Asam Urat dan Makanan yang Harus Dihindari

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke