Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

ITB dan Unpad Kembangkan Alat Pendeteksi Covid-19 Bernama SPR, seperti Apa Cara Kerjanya?

KOMPAS.com - Univeristas Padjajaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandund (ITB) menciptakan alat untuk mendeteksi Covid-19 yakni Suspected Plasmonic Resonance (SPR).

Informasi ini disampaikan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, melalui akun Twitter-nya, @ridwankamil pada Kamis (14/5/2020).

"Unpad & ITB juga berhasil menciptakan alat deteksi covid lainnya dalam bentuk mesin seperti PCR yang disebut SPR (Suspected Plasmonic Resonance). Lebih murah dan tidak perlu lab khusus," tulis Emil dalam twitnya.

Bagaimana cara kerja SPR?

Dosen peneliti di Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan bioinformatika Unpad, Muhammad Yusuf, Ph.D, mengungkapkan, SPR berfungsi sebagai pendeteksi adanya kemunculan Covid-19.

"Secara umum ini adalah metode pengukuran yang dapat mengukur interaksi antara kedua molekul dan kelebihannya dengan metode lain yakni tidak perlu dengan penandaan (label free). Kadang kita harus menggunakan senyawa resensi," ujar Yusuf saat dihubungi Kompas.com, Minggu (17/5/2020).

Ia menjelaskan, alat SPR ini sebelumnya digunakan di perusahaan-perusahaan discovery obat-obatan.

Melalui alat SPR, peneliti dapat mengukur seberapa kuat interaksi antar dua molekul.

"Terkait dengan deteksi Covid ini, sebenarnya alat SPR di dunia belum ada yang digunakan untuk mengukur adanya infeksi," ujar Yusuf.

"Karena memang diperuntukkan untuk itu, dan harganya sangat mahal sekali, tapi namanya teknologi kemudian dikembangkan," lanjut dia.

Menurut dia, harga yang ditaksir dari alat SPR ini berkisar antara Rp 200-300 juta per buah.

Lebih jauh, Yusuf menjelaskan, SPR berfungsi melihat interaksi dua molekul. Dalam aplikasi Covid, molekul yang dimaksud adalah virusnya.

Kemudian, dideteksi apakah virus ini bisa berinterkasi dengan antibodi.

Yusuf menjelaskan, alat SPR yang ditempelkan dengan antibodi pada bagian kaca berlapis emas akan diinjeksikan ke sampel yang ada virusnya.

Jika terjadi interaksi antara virus dengan antibodi, maka akan ada perubahan sinyal yang dapat diketahui melalui monitor.

Sebaliknya, jika monitor tidak menunjukkan interaksi apa pun, maka tidak ada virus.

"Jadi secara prinsip yang dideteksi itu sama-sama gen antara SPR dan PCR," ujar Yusuf.

Membantu PCR

Kehadiran SPR ini bukan sebagai pesaing dari PCR yang selama ini digunakan untuk mendeteksi virus corona.

Namun, Unpad dan ITB sama-sama menghadirkan SPR dalam rangka tugas dari BPPT BRIN dan Gugus Tugas Covid-19.

"Kenapa kemudian kami menginisiasi untuk mendeteksi corona? Karena kami melihat penggunaan PCR di Indonesia ternyata perlu dibantu," ujar Yusuf.

Ia mengatakan, secara metode, PCR dapat menyelesaikan masalah.

Akan tetapi, untuk bahan-bahan yang digunakan seperti reagen-reagen dan bahan penunjang lain masih harus diimpor.

Hal ini terkadang menjadi hambatan karena Indonesia juga mengantre untuk kesediaan bahan dari luar negeri.

Apalagi, bahan-bahan tersebut tengah banyak dicari di seluruh dunia.

"Kita yang hanya bisa impor saja, jadi mengantre untuk mendapatkan bahan-bahan tersebut, jadi kami kewalahan, alatnya ada, tapi reagennya tidak ada," ujar Yusuf. 

Perbedaan PCR dan SPR

Meski sama-sama sebagai alat yang muncul untuk mendeteksi adanya virus corona, PCR dan SPR memiliki perbedaan.

Menurut Yusuf, PCR digunakan untuk pendetekasian virus atau RNA yang terletak di dalam virus.

Oleh karena itu, peneliti harus mengekstraksi terlebih dahulu dan melalui sejumlah tahapan yang panjang.

Sementara, untuk SPR, hanya melarutkan sampel dengan suatu larutan dan langsung dideteksi.

Menariknya, SPR juga dapat mendeteksi apakah virus corona masih aktif atau sudah rusak.

Menilik keakuratan alat, Yusuf mengatakan, pihaknya belum dapat memastikan kekuatan akurasi SPR.

"Kita tidak bisa mengatakan keakurasian jika belum mencoba dengan virus asli, karena kan virus ini mudah menular. Artinya, kalau kita ingin menguji langsung virus corona dengan SPR, maka kita harus berada di fasilititas yang aman," lanjut dia.

Meski demikian, alat SPR ini mampu mendeteksi suatu virus 1 nanogram per mililiter.

Sementara itu, dihubungi secara terpisah, Ketua Lab Advanced Functional Materials Laboratory, Teknik Fisika ITB, Prof Brian Yuliarto, PhD, mengungkapkan, SPR dipengaruhi oleh konstanta dielektrik medium dan metal, yang dalam kasus ini adalah indeks biasnya.

"Setiap zat dengan konsentrasi tertentu memiliki indeks bias yang berbeda, sehingga fenomena SPR yang dihasilkan juga berbeda. Hal inilah yang mengakibatkan SPR sangat sensitive dan dapat diterapkan sebagai biosensor, misalnya sebagai sensor virus Sars-Cov-2," ujar Brian kepada Kompas.com pada Minggu (17/5/2020).

Menurut dia, sampel tanpa dan dengan virus akan menghasilkan fenomena SPR yang berbeda karena perbedaan indeks biasnya.

Dengan demikian, jika pada sampel terdapat suatu virus tertentu (Sars-Cov-2), maka dapat dideteksi keberadaan dan konsentrasi virus tersebut secara real time.

"Adapun substrat metal (emas) tersebut diberikan preparasi khusus agar selektif terhadap virus tertentu yang diinginkan," ujar Ketua Pusat Nanosains dan Nanoteknologi ITB ini.

Tim ITB dan UNPAD saat ini sedang bekerja keras mencari teknik untuk menempelkan antibodi dan zat lainnya agar chip sensor hanya menangkap protein spike dari Covid-19 dan tidak reaktif dengan zat lainnya.

Data-data awal yang didapat telah menunjukkan sensor dapat reaktif terhadap 1 ng/mL Covid-19.

"Pengujian akan terus dilakukan untuk memastikan Biosensor SPR untuk deteksi Covid-19 memiliki sensitivitas dan selektifitas yang tinggi terhadap Covid-19," lanjut dia.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/17/114354765/itb-dan-unpad-kembangkan-alat-pendeteksi-covid-19-bernama-spr-seperti-apa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke