Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pro-Kontra Politik Mercusuar Soekarno

Kompas.com - 12/12/2023, 16:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan untuk memulai periode Demokrasi Terpimpin di Indonesia pada 1959.

Konsep Demokrasi Terpimpin, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, merupakan sistem pemerintahan di mana kebijaksanaan rakyat diwujudkan melalui musyawarah dan perwakilan.

Namun, pelaksanaannya menginterpretasikan konsep terpimpin dalam demokrasi sebagai kepemimpinan oleh presiden.

Politik Mercusuar

Keadaan kacau di dalam negeri saat itu pada akhirnya berdampak pada hubungan luar negeri Indonesia, terutama dengan negara-negara, seperti dengan Belanda dan Malaysia.

Demi meningkatkan citra dan keberadaannya, Presiden Soekarno membentuk kelompok negara, yaitu Negara New Emerging Force (NEFO) dan Old Established Force (OLDEFO).

Selain itu, Soekarno juga menerapkan politik mercusuar.

Politik mercusuar pada dasarnya merupakan strategi di mana Indonesia menjadi pusat perhatian bagi negara-negara berkembang dengan melibatkan pembangunan besar di dalam negeri tanpa adanya kontrol sosial.

Hal ini menimbulkan sejumlah pertentangan karena dianggap kurang tepat mengingat situasi ekonomi yang sedang kacau pada waktu itu.

Namun, keputusan politik Soekarno yang sering kali dikatakan sebagai "Politik Mercusuar" itu pun menimbulkan pro dan kontra.

Baca juga: Mengapa Politik Mercusuar Memperburuk Ekonomi Indonesia?

Tujuan Politik Mercusuar Soekarno

Politik mercusuar merujuk pada serangkaian kebijakan politik yang diterapkan oleh presiden pertama Indonesia, Soekarno, selama periode Demokrasi Terpimpin.

Awalnya, politik mercusuar diprakarsai dengan tekad Soekarno untuk mendapatkan perhatian dunia internasional, terutama terkait dengan proyek penyelenggaraan Asian Games pertama pada 1962.

Sebagai kepala negara, Soekarno melihat peluang emas dalam peran Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games untuk menarik perhatian dari negara-negara di seluruh dunia.

Untuk menarik perhatian tersebut, Soekarno pun menerapkan politik mercusuar agar Indonesia dapat menjadi sosok mercusuar atau penerang bagi negara-negara baru merdeka atau NEFO (New Emerging Forces).

Kebijakan politik mercusuar ini diimplementasikan melalui proyek pembangunan ikon yang diharapkan menjadi ciri khas khusus yang merepresentasikan Indonesia.

Apa saja dampak positif yang dihasilkan dari proyek mercusuar tersebut?

Pertama, politik mercusuar menjadi awal pengembangan pariwisata di Indonesia dengan dibangunnya Hotel Indonesia.

Hotel Indonesia adalah hotel bintang lima pertama di negeri ini, yang tidak hanya menyediakan akomodasi untuk tamu asing, tetapi juga menjadi sarana Bung Karno untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia.

Selanjutnya, pembangunan Kompleks Olahraga Senayan, khususnya Stadion Gelora Bung Karno agar menjadi salah satu kompleks olahraga terbesar di Asia.

Bung Karno ingin menjadikan stadion ini sebagai daya tarik dunia sehingga merancangnya dengan gaya bangunan temu gelang yang menjadi ciri khas unik.

Kompleks Olahraga Senayan tidak hanya digunakan untuk pertandingan olahraga, tetapi juga untuk konser musik dan berbagai acara besar lainnya.

Selain itu, kompleks ini sering menjadi pusat kegiatan olahraga bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya.

Politik Mercusuar juga membawa dampak positif pada proyek pembangunan Jembatan Semanggi.

Jembatan ini, sebagai bagian dari bangunan monumental, menjadi jembatan layang pertama di Indonesia.

Pembangunan Jembatan Semanggi bertujuan untuk meningkatkan pengaturan lalu lintas kendaraan, terutama di wilayah Senayan, dengan harapan menciptakan kondisi lalu lintas yang lebih lancar dan teratur.

Dampak lanjutan dari Politik Mercusuar adalah pembangunan Monumen Nasional (Monas) dan Gedung MPR/DPR.

Monas yang menjadi ikon ibu kota Indonesia, dibangun sebagai monumen kebangkitan nasional.

Sementara itu, pembangunan Gedung MPR/DPR dianggap sebagai langkah penting untuk mendukung kelancaran proses politik di Indonesia, terutama dalam menghadapi rapat-rapat besar.

Gedung ini menjadi sarana strategis untuk memfasilitasi kegiatan politik, mencerminkan komitmen Indonesia dalam membangun institusi politik yang kuat.

Pemerintahan Soekarno mengalokasikan dana khusus sebesar Rp 3,637 miliar untuk proyek-proyek besar tersebut. Dana tersebut dibagi antara tahun 1961 sebesar Rp 1,537 miliar dan tahun 1962 sebesar Rp 2,100 miliar.

Untuk memenuhi tenggat waktu Asian Games ke-4 yang akan diselenggarakan pada Agustus 1962, seluruh proyek dilakukan secara bersamaan. Selain melibatkan pekerja konstruksi biasa, TNI AD juga ikut terlibat.

Lebih dari 40 sarjana teknik Indonesia bekerja siang-malam untuk memimpin sekitar 12.000 tenaga kerja sipil dan militer.

Para teknisi Indonesia tersebut didampingi oleh ahli bantuan teknis dari Uni Soviet. Hampir semua proyek selesai tepat waktu dan Indonesia berhasil menjadi tuan rumah yang sukses dalam Asian Games ke-4 tahun 1962.

Politik Mercusuar dan dampak pada ekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan

Seperti yang sudah dikatakan pada awal artikel ini bahwa Politik Mercusuar ini juga tidak terlepas dari berbagai kritik masyarakat.

Perdebatan terjadi karena kala itu bangsa Indonesia menghadapi tantangan berat di awal kemerdekaannya, seperti agresi militer, gejolak politik, dan ketidakstabilan ekonomi.

Semua ini menjadi ciri khas pada periode awal kemerdekaan, sehingga dengan membangun proyek-proyek yang megah dan menyedot dana negara untuk mendapatkan perhatian dari negara lain, dirasa bukan urusan mendesak.

Sebab, di lain sisi, Indonesia juga sedang mengalami ketidakstabilan ekonomi pasca-kemerdekaan.

Menjelang akhir dekade 1950-an, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam sektor ekonomi.

Inflasi dan kelangkaan barang menjadi permasalahan umum yang dirasakan di seluruh negeri.

Pemerintah telah berusaha mengatasi situasi tersebut, tetapi hasilnya belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.

Dalam menghadapi kondisi sulit tersebut, Mohammad Hatta yang saat itu bukan lagi wakil presiden, merasa frustrasi dan menyampaikan kekecewaannya terhadap kepemimpinan Soekarno.

Ia mengakui bahwa meskipun presiden memiliki cita-cita mulia, keterbatasan pengetahuan ekonomi menjadi kendala serius.

Dalam kutipan yang disampaikan oleh Deliar Noer dalam bukunya Mohammad Hatta: Biografi Politik, Hatta menyatakan bahwa Soekarno sebagai pemimpin, mengakui bahwa ia bukan seorang ahli ekonomi.

Disamping itu, orang yang ditugaskan untuk mengelola sektor ekonomi tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang kompleksitas ekonomi.

Akibat proyek-proyek mercusuar ini, situasi ekonomi Indonesia menjadi semakin kacau dan pada akhirnya Indonesia mengalami krisis ekonomi.

Proyek-proyek mercusuar yang mahal dan tidak efisien dianggap telah menyebabkan defisit anggaran dan meningkatkan utang pemerintah pada masa itu.

Referensi:

  • Suzana, N. (2016). Pelaksanaan Politik Mercusuar di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1965.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com