Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Strategi Pangeran Diponegoro Melawan Penjajahan Belanda

Kompas.com - 01/11/2023, 16:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perang Diponegoro merupakan salah satu episode bersejarah di Indonesia yang terjadi antara 1825 hingga 1830.

Konflik ini diprakarsai oleh keinginan Diponegoro, seorang pangeran dari Mataram, yang ingin mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa. 

Diponegoro tak hanya dikenal atas perjuangannya yang gigih melawan penjajahan, tetapi juga sosok dan kepribadiannya yang menarik serta kontribusinya bagi Indonesia.

Pertempuran ini bukan sekadar catatan sejarah biasa bagi Indonesia, melainkan cerminan dari semangat perjuangan bangsa yang mendambakan kemerdekaan.

Baca juga: Tokoh-Tokoh Perang Diponegoro

Mengenal sosok Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785 dengan nama asli Bendara Raden Mas Mustahar.

Pangeran Diponegoro merupakan putra dari Sultan Hamengkubuwono III dan cucu dari Sultan Hamengkubuwono I. 

Pada 1805, nama Bendara Raden Mas Mustahar diganti oleh sang kakek, Sultan Hamengkubuwono II, menjadi Raden Mas Ontowiryo.

Sebagai keturunan keluarga bangsawan, Pangeran Diponegoro mendapatkan pendidikan yang baik dan diajar untuk mengenal budaya Jawa dan agama Islam.

Ia juga mendalami ilmu keprajuritan dan seni perang tradisional Jawa.

Saat ayahnya secara resmi menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono III pada 1812, Raden Mas Ontowiryo diangkat menjadi pangeran dengan gelar Pangeran Harya Dipanegara.

Sejak itulah, ia dikenal dengan panggilan Pangeran Diponegoro karena kepemimpinan dan tindakan-tindakannya dalam melawan campur tangan Belanda di Kesultanan Yogyakarta serta perlakuan mereka terhadap budaya dan agama Jawa.

Baca juga: Penyebab Utama Pecahnya Perang Diponegoro

Latar belakang Perang Diponegoro

Perang Diponegoro merupakan salah satu perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda yang berusaha untuk memperluas pengaruhnya di Pulau Jawa.

Kisah Perang Diponegoro dimulai dengan latar belakang Pangeran Diponegoro yang sedari kecil sudah dididik untuk menentang kolonialisme di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Pada 1812, ia berpartisipasi dalam peristiwa Geger Sepehi ketika Inggris menyerang Kesultanan Yogyakarta.

Walaupun Inggris berhasil mengalahkan Kesultanan Yogyakarta dan merampok harta bendanya, kejadian tersebut justru membangun tekad Pangeran Diponegoro untuk melawan penjajahan.

Seiring berlalunya waktu, ketidakpuasan Pangeran Diponegoro terhadap penjajahan semakin meningkat karena Belanda telah memasang patok jalan melalui makam leluhurnya tanpa izin.

Pangeran Diponegoro menganggap tindakan tersebut telah merusak nilai-nilai budaya Jawa dan menghina kehormatan mereka.

Oleh karena itu, ia menyatakan perang sebagai bentuk protes dengan mengganti beberapa patok jalan dengan tombak.

Pada 1825, Pangeran Diponegoro secara terbuka memulai perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Ia berhasil memobilisasi pasukan terdiri dari orang Jawa yang merasa tidak puas dengan pemerintahan kolonial.

Diponegoro membangun gerakan perlawanan yang kuat dan mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Jawa.

Perang Diponegoro berlangsung selama beberapa tahun dengan berbagai pertempuran yang sengit di wilayah Jawa.

Oleh karena itu, perang ini juga sering disebut sebagai Perang Jawa.

Baca juga: Biografi Nyi Ageng Serang, Pemimpin Pasukan di Perang Diponegoro

Strategi Perang Diponegoro

Perang Diponegoro dimulai ketika pasukan Belanda tiba di Tegalrejo, Yogyakarta, pada 20 Juli 1825, dengan tujuan untuk menangkap Pangeran Diponegoro atas tindakannya mengganti patok jalan dengan tombak.

Penangkapan ini menjadi pemicu dimulainya perlawanan berskala besar.

Diponegoro dan pendukungnya merasa bahwa tindakan ini adalah bentuk agresi yang tidak dapat diterima.

Penangkapan Diponegoro dinilai sebagai langkah yang jelas untuk menyingkirkan mereka dari kekuasaan.

Pasukan Belanda menghadapi perlawanan yang kuat dari pengikut Pangeran Diponegoro, sehingga upaya penangkapan itu gagal. Pangeran Diponegoro pun berhasil melarikan diri ke Desa Selarong.

Pasukan Belanda merespons kegagalan tersebut dengan menghancurkan Tegalrejo.

Tindakan ini justru memperbesar kemarahan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kehadiran kolonial.

Selama tinggal di Desa Selarong, Pangeran Diponegoro mulai merancang serangkaian strategi perang yang cermat.

Salah satu strategi utamanya adalah menyerang Keraton Yogyakarta sebagai respons terhadap campur tangan Belanda dalam urusan keraton.

Ia ingin mengisolasi pasukan Belanda dan menjadikan mereka terkepung tanpa kemungkinan bantuan dari luar.

Pangeran Diponegoro juga mengirim utusan kepada bupati dan ulama di berbagai wilayah untuk bersatu dalam perlawanan terhadap Belanda.

Namun, ia juga tetap selektif dalam memilih sekutu yang dapat diandalkan.

Selain itu, ia merancang strategi pembagian wilayah pertahanan yang baik sehingga pasukannya memiliki tempat perlindungan yang efektif ketika pasukan lawan melemah.

Dengan strategi yang matang, perang ini dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro dan ia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh penting, seperti Pangeran Mangkubumi, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya.

Setelah itu, Pangeran Diponegoro berusaha melawan Belanda dengan melibatkan masyarakat Jawa.

Berkat strategi perangnya dan dukungan masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoro berhasil menduduki Keraton Yogyakarta dalam waktu tiga minggu, dan perlawanannya meluas hingga mencakup wilayah Magetan, Madiun, Kediri, dan seluruh Jawa.

Perang Diponegoro juga melibatkan taktik gerilya yang mencapai puncaknya pada 1827, saat Belanda mengirim 23.000 prajurit untuk menyerang Diponegoro.

Belanda menerapkan teknik Benteng Stelsel dengan membangun benteng-benteng di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk mempersempit pergerakan Pangeran Diponegoro.

Strategi tersebut ternyata berhasil membuat Pangeran Diponegoro semakin terpojok.

Pada 1829, Kyai Mojo ditangkap yang diikuti oleh Alibasah Sentot Prawirodijo dan Pangeran Mangkubumi.

Pada 21 September 1829, Belanda menawarkan hadiah bagi siapa pun yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro.

Baca juga: Hendrik de Kock, Pemimpin Belanda pada Perang Diponegoro

Akhir Perang Diponegoro

Perang Diponegoro berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830, 

Pangeran Diponegoro ditangkap setelah ia memutuskan untuk bertemu dengan Kolonel Baptist Cleerens yang sebenarnya merupakan rencana jebakan dari pihak Belanda.

Setelah penangkapan tersebut, Diponegoro diasingkan ke berbagai tempat, termasuk Ungaran, Semarang, Batavia, Manado, dan Benteng Nieuw Amsterdam, sebelum akhirnya wafat di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro berlangsung dalam kurun waktu lima tahun, sejak 1825 hingga 1830, dan mengakibatkan banyak korban jiwa, dengan sekitar 200.000 orang tewas, termasuk 15.000 korban di pihak Belanda.

Demikianlah berakhirnya Perang Diponegoro yang telah menjadi salah satu konflik paling berdarah dalam sejarah Indonesia.

Referensi:

  • Dewi, V. M. (2020). Pangeran Diponegoro Dalam Perang Jawa 1825-1830. SINDANG: Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Kajian Sejarah, 2(2), 147-158.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com