Presiden Soekarno kemudian meminta agar surat keputusan pembubaran PKI segera dicabut, tetapi Soeharto menolak.
Hal ini yang kemudian mendorong Soekarno menerbitkan surat baru yang menyatakan bahwa Supersemar tidak sah.
Surat itu dibuat pada 13 Maret 1966, sehingga disebut sebagai Surat Perintah 13 Maret atau Supertasmar.
Baca juga: Supersemar, Memori, dan Kesadaran Pentingnya Arsip
Pada 13 Maret 1966, Presiden Soekarno bersama ketiga Wakil Perdana Menteri dan beberapa pembantu dekatnya membahas mengenai tindakan yang dilakukan Soeharto, terutama dalam menghadapi PKI yang pada saat itu tengah ramai diperbincangkan akibat dituding sebagai dalang dari G30S.
Dari hasil pertemuan yang diadakan di Istana Bogor itu, Presiden Soekarno resmi menerbitkan Surat Perintah 13 Maret 1966.
Isi Surat Perintah 13 Maret atau Supertasmar adalah menegaskan bahwa Supersemar adalah sebuah surat perintah, bukan penyerahan kekuasaan.
Maka dari itu, setiap tindakan yang hendak dilakukan Soeharto harus lebih dulu dikonsultasikan kepada Presiden Soekarno.
Malam itu, sekitar pukul 21.00 WIB, Presiden Soekarno, Waperdam II, Leimena, dan Brigadir Jenderal Hartono (Korps Komandan Angkatan Laut) pergi ke kediaman Soeharto untuk menyerahkan Supertasmar.
Setelah membaca surat itu, Soeharto menyatakan bahwa semua yang ia lakukan merupakan tanggung jawabnya sendiri.
Konon, pernyataan itu ia sampaikan kepada Leimena.
Baca juga: Saat Soeharto Ancam Pakai Supersemar Gilas Demo Mahasiswa...
Hal yang masih mengganjal sampai hari ini adalah rakyat Indonesia tidak pernah melihat Surat Perintah 13 Maret, apalagi bentuk aslinya.
Kondisi ini lantas menimbulkan pertanyaan, apakah Supertasmar itu nyata atau hanya sebuah cerita fiktif, karena dokumennya tidak pernah ditemukan.
Sebab, naskah asli Supersemar saja belum diketahui keberadaannya, apalagi Supertasmar yang bahkan bentuk salinannya saja belum pernah diperlihatkan.
Referensi: