KOMPAS.com - Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1819-1826.
Sebelumnya, Van der Capellen telah tiba di Indonesia pada 1816 bersama beberapa koleganya.
Tugas Van der Capellen di Indonesia saat itu adalah mengurusi penyerahan Indonesia dari Inggris.
Setelah tiga tahun menjadi Komisaris Jenderal Hindia Belanda, pada 1819 ia secara resmi menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Berikut ini kebijakan Van der Capellen selama menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Baca juga: Biografi Van der Capellen dan Kebijakannya
Pada awal pemerintahannya, Van der Capellen menerbitkan surat keputusan tanggal 8 Maret 1819 yang berisi perintah untuk mengadakan penelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa.
Tujuan dari kebijakan Van der Capellen ini yakni:
Menunjuk Jonkheer Anthonie Smissaert sebagai Residen Yogyakarta pada 3 Januari 1823, yang mulanya merupakan residen Rembang.
Penunjukkan Smissaert memunculkan banyak pertanyaan di kalangan pejabat Belanda karena dinilai tidak mempunyai pengalaman memadai untuk melakukan tugas di wilayah keraton Jawa Tengah bagian selatan, termasuk Yogyakarta.
Diduga, salah satu alasan penunjukkan Smissaert adalah agar ada pejabat Belanda yang patuh kepada Van der Capellen dalam hal urusan sewa tanah.
Baca juga: Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36
Selain itu, Smissaert dipandang oleh Van der Capellen sebagai orang yang cocok untuk kepentingan perluasan wilayah di Jawa, karena telah memiliki pengalaman hampir 20 tahun di Jawa.
Pengangkatan Smissaert ternyata menjadi salah satu pemicu Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) karena residen Yogyakarta tersebut terlalu banyak mencampuri urusan politik keraton.
Van der Capellen termasuk tokoh konservatif Belanda. Pada 1823, ia menindak sistem sewa tanah kepada orang Eropa dan Tionghoa yang dinilai semakin liar dan menyengsarakan rakyat.
Dari laporan orang kepercayaannya, Van der Capellen benar-benar tahu bahwa penyewaan lahan di wilayah Jawa merupakan sistem perampasan hak kepemilikan dari para petani Jawa dan merontokkan martabat mereka hingga level serendah-rendahnya.
Baca juga: Mengapa Sistem Sewa Tanah Mengalami Kegagalan?
Maka pada 6 Mei 1823, Van der Capellen mengumumkan dekrit penghapusan sewa tanah.
Isi dekrit tersebut menetapkan bahwa semua lahan yang disewa oleh orang Eropa dan Tionghoa di wilayah-wilayah kerajaan harus dikembalikan kepada pemilik semula selambat-lambatnya pada 31 Januari 1824.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.