Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fakta Unik di Balik Perbedaan Sumpit China, Korea, dan Jepang

Kompas.com - 21/08/2023, 09:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sumpit merupakan alat makan yang memiliki nilai simbolis dalam budaya Jepang, Korea, dan China.

Meskipun terlihat serupa, terdapat perbedaan signifikan dalam desain, penggunaan, dan makna di balik sumpit dari ketiga negara ini.

Perbedaan itulah yang mengungkapkan akar sejarah sumpit nan kaya dan beragam.

Mari kita telusuri jejak sejarah di balik perbedaan sumpit yang ternyata mencerminkan keragaman budaya dan tradisi di Asia Timur.

Baca juga: Sejarah Sumpit, Awalnya Alat Bantu Memasak

Sumpit China: Kuai Zi

Pada 2100-1600 SM, sumpit pertama kali muncul dalam arkeologi China, mengaitkan penggunaannya dengan awal peradaban Shang.

Sumpit tersebut lebih sering digunakan sebagai alat untuk membantu memasak daripada alat makan.

Namun, seiring berjalannya waktu, peran sumpit berkembang menjadi lebih luas, termasuk dalam konteks alat makan.

Sumpit China atau dikenal dengan sebutan "kuai zi" terbuat dari beragam bahan, seperti kayu, bambu, atau material lain yang ringan.

Sumpit ini memiliki panjang yang bervariasi, tetapi umumnya lebih panjang dibandingkan dengan jenis sumpit lainnya.

Kuai zi memiliki desain sederhana dan lurus dengan ujung tajam untuk memudahkan dalam meraih dan mengambil makanan.

Bagian tengah sumpit cenderung lebih tebal untuk memberikan pegangan yang nyaman.

Seringkali, kuai zi dihiasi dengan ukiran halus atau warna cerah yang memancarkan pesona budaya China.

Baca juga: Muasal Sumpit, Sempat Jadi Ukuran Kemewahan

Sumpit Korea: jeotgarak

Sumpit Korea, dikenal juga sebagai "jeotgarak". Sumpit ini memamerkan desain yang unik dan elegan.

Biasanya, jeotgarak lebih pendek dibandingkan dengan sumpit China dan Jepang.

Jeotgarak memiliki bentuk lebih lebar dan lebih datar, seringkali dihiasi dengan ukiran artistik atau warna mencolok yang mencerminkan keindahan seni Korea.

Bagian tengah sumpit Korea umumnya lebih tipis, memberikan kenyamanan saat digunakan.

Jeotgarak pertama kali muncul dalam sejarah Korea pada masa Tiga Kerajaan (57 SM - 668 M).

Selama periode ini, mereka digunakan sebagai alat makan yang terhormat dan sering kali diberikan sebagai hadiah dalam upacara istana.

Baca juga: Gwangbokjeol, Hari Kemerdekaan Korea Selatan

Sumpit Jepang: hashi

Penggunaan sumpit di Jepang memiliki jejak sejarah yang panjang.

Penggunaannya sudah ada sejak masa Nara (710-794 M) dan Heian (794-1185 M).

Awalnya, sumpit digunakan sebagai alat membantu memasak dalam ritual keagamaan, dan penggunaannya kemudian meluas menjadi alat makan.

Sumpit Jepang atau "hashi" dikenal dengan kesederhanaan dan kehalusannya.

Sumpit ini biasanya lebih pendek dan ramping dibandingkan dengan jenis sumpit dari negara lain.

Hashi memiliki desain sederhana dengan ujung yang datar atau bulat.

Salah satu ciri khas hashi adalah cara memegangnya, di mana jari-jari memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan kestabilan saat menggunakan sumpit.

Baca juga: Abad Penghinaan dalam Sejarah China

Budaya dan konteks

Perbedaan dalam bahan, desain, dan penggunaan sumpit ini merefleksikan nilai-nilai budaya dan tradisi masing-masing negara.

Selain sebagai alat makan, sumpit juga mencerminkan seni dan keahlian yang tertanam dalam budaya Asia Timur.

Melalui perjalanan waktu, sumpit yang dulunya hanya alat membantu masak atau makan, telah bertransformasi menjadi simbol kekayaan budaya yang membentang dari China, Korea, hingga Jepang.

Sejarah dan budaya sumpit tiap negara memberikan wawasan lebih dalam tentang perjalanan manusia dalam menciptakan alat yang sesuai dengan nilai-nilai tradisi dan budaya mereka.

Referensi:

  • Korean Spirit and Culture Promotion Project. (2010). Korean Chopsticks: From Everyday Use to Decorative Art. Hollym International.
  • Takemitsu, M. (1990). The History of Japanese Eating Utensils. Japan Quarterly, 37(4), 403-409.
  • Qiu, P., & Zhou, L. (2015). Ancient Chinese chopsticks and their cultural value. Journal of Cultural Heritage, 16(6), 852-857.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com