Dalam suratnya, Sultan Alauddin merinci senjata yang dibutuhkan oleh kerajaannya, yang terdiri dari bacaluska, sayka, dan havayi.
Bacaluska adalah meriam ukuran sedang yang pernah digunakan sultan Ottoman untuk merusak benteng, dan sayka adalah meriam pemuntah bola batu yang ukurannya sangat besar.
Sebagai imperium Islam terhebat saat itu, Kekaisaran Usmani memiliki semua yang diminta oleh sultan Aceh.
Untuk memenuhi permintaan Sultan Alauddin, Sultan Salim II mengirim prajurit Ottoman yang cakap dan loyal di bawah pimpinan komandan Kordoglu Hizir.
Kordoglu ditugaskan untuk membantu Sultan Alauddin merebut benteng Portugis di Malaka dan bersama pasukannya harus tunduk serta patuh kepada sultan Aceh.
Bersama Kardoglu, dikirim 15 kapal induk (kadirga) dan dua kapal perang (barca), ahli pembuat meriam, tujuh penembak meriam, senapan dan peralatan perang lainnya.
Pasukan yang dirikim ke Aceh sudah diberi upah lebih dulu oleh Sultan Salim.
Dengan bantuan yang dikirimkannya, Sultan Salim II berharap Kerajaan Aceh bersungguh-sungguh dalam berjuang atas nama Islam melawan intimidasi bangsa Portugis.
Guna menjamin kelancaran perjalanan armadanya menuju Aceh, Sultan Salim II juga memberi instruksi kepada para penguasa di wilayah vasal Ottoman seperti di Rhodes, Mesir, Yaman, Jeddah, dan Aden.
Baca juga: Kesultanan Utsmaniyah: Sejarah, Sultan, Kejayaan, dan Keruntuhan
Dapat dikatakan bahwa bantuan Sultan Ottoman kepada Kerajaan Aceh tidak hanya sebatas pasukan dan pemberian persenjataan siap pakai.
Pengiriman tenaga ahli berarti mentransmisikan keilmuan dan keterampilan Kekaisaran Utsmani di Aceh, khususnya di bidang militer dan pertahanan.
Oleh para ahli dari Turki, orang-orang Aceh diajari untuk menempa meriam sendiri.
Menurut catatan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernao Mendes Pinto, armada Kesultanan Utsmaniyah yang pertama tiba di Aceh terdiri dari 300 pasukan yang terdiri dari orang Turki, Mesir, Swahili, Somalia dan India, serta sekitar 200 pelaut.
Armada yang dikirim oleh sultan Ottoman memang tidak semuanya sampai di Aceh, karena banyak di antaranya yang dialihkan untuk melawan pemberontakan di Yaman.
Pada 1566-1567, hanya dua kapal yang tiba di Aceh, sementara beberapa lainnya menyusul.
Terkait persenjataan, sejumlah sumber Eropa memberitakan bahwa pada 1620, sultan Aceh memiliki 2.000 meriam, di mana 800 di antaranya berukuran besar.
Meriam-meriam tersebut ada yang didapatkan langsung dari Kesultanan Turki Utsmani, ada pula yang dibuat di Aceh dengan arahan para tenaga ahli dari Turki.
Referensi: