Pada 7 Februari 1989, sebanyak tiga peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu Cihideung, pusat gerakan.
Menjelang subuh, keadaan di Cihideung sudah berhasil dikuasai oleh ABRI.
Dalam bentrokan ini, sedikitnya 246 penduduk sipil tewas.
Sementara itu, menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan ada 47 korban tewas dan 88 lainnya hilang.
Alhasil, ratusan anak buah dan pengikut Warsidi berhasil ditangkap.
Baca juga: Kronologi Peristiwa Tanjung Priok 1984
Menurut UU No. 26 Tahun 2008 Pasal 9 tentang Pengadilan HAM, kejadian itu merupakan penyerangan terhadap kelompok sipil yang dilakukan atas perintah dari atasan militer maupun non-militer
Pada 2001, korban dari Peristiwa Talangsari mendesak Komnas HAM untuk segera membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM).
Kemudian, pada 23 Februari 2001, tim penyelidik pun dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999.
Tim ini terdiri dari:
Tim ini mulai bekerja sejak akhir Maret hingga awal April 2005.
Setelah mereka turun ke lapangan pada Juni 2005, didapati adanya pelanggaran HAM berat.
Komnas HAM kemudian mengeluarkan laporan penyelidikan dan berkasnya diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Namun, malangnya, laporan tersebut ditolak karena dianggap kurang ada bukti formil dan materiil.
Baca juga: Peristiwa Talangsari 1989
Pada 20 Februari 2019, barulah deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terjadi.
Deklarasi ini dilaksanakan di Dusun Talangsari, Lampung Timur, yang dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu.