DALAM haji, bagian terberat secara fisik, karena menguras banyak energi dan menghadapi cuaca kejam, adalah Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Tempat yang kering, padang membara, dengan gunung-gunungnya yang hitam dan gersang.
Jangan gusar, saat ini sudah penuh dengan tenda permanen dan tidak permanen yang mengurangi tantangan alam.
Beberapa pohon hijau juga sudah ditanam. Hotel dan apartemen berbentuk kotak sepanjang kaki bukit-bukit itu juga sudah banyak.
Pemandangan tenda putih dan dihiasi kotak-kotak bangunan modern, plus jalan tol bertumpuk, mendominasi tiga tempat tadi. Namun, suhu panas tidak berkurang.
Penulis mengunjungi tenda-tenda yang sedang diperbaiki di Arafah. Tenda didirikan dengan tidak permanen, dilengkapi dengan AC besar, lantai diberi alas kayu tripleks dan karpet. Toilet dan WC tersedia di sekitar tenda.
Tampaknya lebih nyaman saat ini. Bayangkan sepuluh tahun atau dua puluh tahun lalu, ketika para jamaah haji harus membawa kipas angin kecil, atau justru dengan kipas tangan, karena fasilitas dan teknologi masih minim. Panas tak terbendung, fisik dipaksa bertahan.
Saat wukuf (berdiam diri), mabit (menginap), dan lempar jumrah (kerikil), suasana akan tegang dan tes terhadap vitalitas dan kesehatan betul-betul terjadi.
Saat berdiam diri, shalat, mendengarkan khutbah, dan berzikir, kira-kira sebanding dengan suasana batin meditasi bagi umat Buddhis, yang saat ini sudah dipraktikkan secara kesehatan.
Yoga dan meditasi memang tidak semata dilakukan umat Hindu dan Buddha. Keduanya umum dipraktikkan untuk menjaga kesehatan dan bisa dilakukan tanpa melibatkan doa-doa dan iman.
Wukuf, berdiam diri dan merenung di tempat gersang di Arafah, kira-kira seperti itu. Namun itu dilakukan secara bersama-sama, tidak dalam kesepian dan tidak pula dalam kesendirian.
Ibadah haji adalah ibadah ramai dan penuh dengan relasi sosial, bukan ibadah individu yang mencari tempat untuk menyepi.
Sekitar dua Haram, Mekkah, dan Madinah penuh dengan hotel, toko, mal, dan semua bangsa dan etnis berlalu lalang.
Menjelang Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) banyak jemaah berkomentar soal istilah yang krusial bagi haji, kemampuan (istitha’ah).
Mampu haji dikaitkan dengan kelayakan dan tidak menyulitkan bagi jamaah dan petugas. Tampaknya istitha’ah lebih relevan dikontekskan seperti itu, bukan kesanggupan semangat individu untuk beribadah.
Haji merupakan rukun Islam yang kelima menuntut syarat kemampuan. Dalam fiqh (hukum dan tata cara ibadah) klasik tradisi Islam, terutama mazhab yang empat (Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi) kemampuan dikaitkan dengan fisik dan harta.