Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak Pemberontakan Boxer

Kompas.com - 24/05/2023, 13:00 WIB
Susanto Jumaidi,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

Sumber History

KOMPAS.com – Menjelang akhir abad ke-19, di China terjadi gerakan untuk memusnahkan orang asing serta pengaruhnya yang dikenal sebagai peristiwa Pemberontakan Boxer.

Pemberontakan Boxer merupakan gerakan untuk menumpas hegemoni asing yang mendominasi perekonomian di China, yang diyakini sebagai salah satu sebab rakyat China menjadi semakin miskin.

Puncak pemberontakan terjadi pada Juni 1900, di mana orang asing dan orang China yang berkaitan dengan orang asing dibunuh secara massal.

Kegaduhan itu memaksa aliansi delapan negara mengirim 19.000 pasukan bersenjata untuk meredam pemberontakan.

Pemberontakan dapat diakhiri ketika pemerintah China yang kala itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Qing, menandatangani Protokol Boxer pada 7 September 1900.

Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah China wajib membayar ganti rugi dalam jumlah besar.

Berikut ini dampak Pemberontakan Boxer di China.

Baca juga: Pemberontakan Boxer, Gerakan Petani China Mengusir Bangsa Asing


Jatuhnya ribuan korban jiwa

Dampak langsung dari Pemberontakan Boxer adalah jatuhnya banyak korban jiwa, baik dari pihak asing maupun penduduk China.

Terdapat beberapa pendapat mengenai jumlah korban dalam peristiwa ini.

Ada yang menyebut Pemberontakan Boxer menewaskan 100.000 lebih orang China, dan di pihak asing sekitar 35.000 jiwa lebih.

Melansir History, Pemberontakan Boxer disebut menewaskan ratusan orang asing dan ribuan orang Kristen Tionghoa.

Baca juga: Perang Candu I (1839-1842): Penyebab, Kronologi, dan Dampak

China wajib membayar ganti rugi

Protokol Boxer secara resmi menghentikan Pemberontakan Boxer di China.

Perjanjian tersebut membawa banyak konsekuensi, salah satunya mewajibkan China membayar ganti rugi senilai lebih dari 330 juta dollar AS, kepada negara asing yang menjadi sasaran pemberontakan.

Jumlah yang terlampau besar itu tentunya memberatkan Dinasti Qing yang kala itu ekonominya memang tidak stabil.

Selain itu, China dilarang mengimpor senjata selama dua tahun.

Baca juga: Peristiwa Apa yang Menyulut Terjadinya Perang Candu?

Bangsa asing masih menguasai China

Isi Protokol Boxer masih membuka kesempatan bagi negara-negara Barat dan Jepang untuk menancapkan hegemoninya di China.

Periode ini dalam sejarah China disebut sebagai “Abad Penghinaan”, karena China benar-benar tidak dapat berbuat banyak ketika kedaulatannya diinjak-injak orang asing.

Bahkan, China juga tidak melakukan protes tatkala Jepang dan Rusia menjadikan sebagian wilayahnya sebagai medan perang kedua negara tersebut yang berlangsung antara 1904-1905.

Hegemoni Barat dan Jepang di China juga menjadi media penyebaran faham-faham modern Barat ke sendi kehidupan masyarakat China.

Baca juga: Dinasti Qing: Sejarah, Masa Kejayaan, dan Keruntuhan

Krisis kepercayaan rakyat China

Posisi China yang terpuruk dan berada di bawah cengkeraman bangsa asing melahirkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Dinasti Qing.

Dinasti Qing dianggap sudah tidak mampu mengemban mandat langit (dewa-dewa) untuk membawa rakyat sejahtera.

Di sisi lain, China kala itu sudah banyak melahirkan kaum terpelajar yang berpaham modern.

Kondisi itulah, yang dalam perkembangannya memicu munculnya gerakan-gerakan revolusi untuk meruntuhkan kekuasaan Dinasti Qing.

Baca juga: Daftar Dinasti yang Pernah Berkuasa di China

Runtuhnya Dinasti Qing

Salah satu tokoh penting dalam usaha revolusi nasional China adalah Chiang Kai-Shek.

Selain itu, ada juga Sun Yat Sen, tokoh terpelajar yang berupaya memodernisasi pemerintahan China yang dianggap kolot.

Taktik revolusinya telah disusun sedemikian rupa dengan mendirikan organisasi anti-Manchu (Dinasti Qing) di luar negeri yang berisi kaum terpelajar.

Setelah organisasi ini dirasa cukup kuat untuk melakukan revolusi nasional, barulah mereka kembali ke China dan melancarkan aksinya.

Pada 10 Oktober 1911, revolusi berlangsung di Wuchang dan Sun Yat Sen segera mendeklarasikan negara China baru bernama Republik Tiongkok.

Baca juga: Revolusi Komunis China: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampah

Deklarasi tersebut membagi kedaulatan China menjadi dua, yaitu Republik Tiongkok di China Selatan di bawah pimpinan Sun Yat Sen, dan Dinasti Qing di China Utara.

Pada 12 Februari 1912, Yuan Shih Kay mengambil alih takhta dan berusaha menyelamatkan Dinasti Qing dari kehancuran total dengan cara berunding dengan Sun Yat Sen.

Dari perundingan tersebut, disepakati persatuan China dalam Republik Tiongkok yang secara praktis meruntuhkan kekuasaan Dinasti Qing di China.

Atas permintaan Sun Yat Sen, Yuan Shih Kay diangkat sebagai presiden Republik Tiongkok pada 13 Agustus 1912.

 

Referensi:

  • Kusmayadi, Y. (2018). Sejarah Runtuhnya Dinasti Manchu Awal Abad Ke 20. Jurnal Artefak, 5(2), 63-70.
  • Lestari, N. I. (2021). Pemberontakan Boxer Sebagai Gerakan Anti Bangsa Asing 1899-1901. Repository repository.lppm.unila.ac.id
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com