KOMPAS.com - Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, berbagai pemberontakan masih terjadi di Tanah Air.
Banyaknya pemberontakan ini disebabkan berbagai macam faktor. Salah satunya adalah sentimen kedaerahan dan ideologi tertentu.
Tujuh pemberontakan di awal kemerdekaan bangsa Indonesia yakni:
Baca juga: Pemberontakan PKI Madiun 1948
Peristiwa Madiun 1948 atau yang biasa dipopulerkan menjadi Pemberontakan PKI Madiun adalah konflik yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan kelompok oposisi sayap kiri.
Pada peristiwa yang meletus 18 September 1948 ini, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), berusaha merebut kekuasaan karena tidak puas dengan kebijakan yang dibuat pemerintah.
Terjadinya pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin, yang tidak lagi mendapat dukungan setelah dituduh membawa kerugian bagi Indonesia ketika sedang mengadakan Perjanjian Renville bersama Belanda.
Ketika Amir Syarifuddin tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri pada 28 Januari 1948, Mohammad Hatta ditunjuk untuk membentuk kabinet baru.
Hatta sempat menawarkan posisi di kabinetnya kepada Amir, tetapi tidak terjadi kesepakatan karena Amir menginginkan posisi kunci.
Pada akhirnya, Mohammad Hatta membentuk kabinet baru tanpa ada golongan sayap kiri yang masuk ke dalam fraksi.
Hal ini lantas membuat kaum sayap kiri merasa kecewa dengan keputusan Hatta.
Menindaklanjuti hal tersebut, golongan sayap kiri mengadakan rapat di Surakarta pada 26 Februari 1948.
Rapat tersebut menghasilkan pembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PSI, PKI, PBI, Pesindo, dan SOBSI, dengan Amir Syarifuddin sebagai pemimpinnya.
Dalam perkembangannya, FDR justru menjadi radikal dan programnya berfokus untuk menentang program Mohammad Hatta.
Terlebih lagi, setelah Mohammad Hatta memulai program rasionalisasi dan memandang TNI-Masyarakat sebagai organisasi militer berhaluan kiri yang tidak terlatih.
Pemberontakan pun terjadi pada 18 September 1948 pukul 03.00 pagi, di mana FDR Madiun mulai merebut pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas tentara yang dipimpin oleh Sumarsono dan Djoko Sujono.
Hal ini terjadi setelah adanya bentrok antara FDR dengan Divisi Siliwangi yang terpaksa keluar dari Jawa Barat akibat Perjanjian Renville.
Hanya dalam hitungan jam, Madiun berhasil dikuasai oleh FDR sepenuhnya.
Keesokan harinya, 19 September 1948 malam, Presiden Soekarno menyatakan bahwa pemberontakan Madiun merupakan upaya untuk menggulingkan pemerintah Indonesia.
Pukul 23.30, Musso, yang merupakan tokoh komunis senior, menyatakan perang terhadap Indonesia dengan menuduh Soekarno dan Hatta menjadi budak imperialisme Amerika dan pengedar Romusha (kerja paksa).
Namun, pada praktiknya, sejumlah pemimpin FDR justru berbalik arah melawan Musso dan menyatakan kesediaan untuk berdamai degnan pemerintah Indonesia.
Bahkan mereka menyiarkan melalui radio bahwa apa yang terjadi di Madiun bukanlah kudeta, melainkan upaya untuk mengoreksi kebijakan pemerintah.
Pada 23 September 1948, Amir juga menyatakan bahwa konstitusi FDR adalah negara Republik Indonesia, bendera mereka tetap merah putih, dan lagu kebangsaan mereka adalah Indonesia Raya.
Pada akhirnya, untuk menghindari konflik dengan TNI, FDR/PKI memutuskan mundur ke pegunungan.
Pada 28 Oktober 1948, pemerintah berhasil menangkap 1.500 orang dan Musso berhasil ditembak mati pada 31 Oktober 1948 saat sedang bersembunyi di kamar kecil.
Pemberontakan PKI Madiun baru berhasil dipadamkan setelah Amir, Maruto, Djoko, Suripno, dan FDR lain tertangkap dan dieksekusi pada 19 Desember 1948.
Baca juga: Penyebab Pemberontakan DI/TII
Pada awal kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 7 Agustus 1949, terjadi pemberontakan di Jawa Barat, yang dikenal dengan nama DI/TII.
Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat ini dipimpin oleh Sekarmadji Kartosuwiryo.
Latar belakang terjadinya pemberontakan DI/TII Jawa Barat ini dilandasi oleh ketidakpuasan dari Kartosuwiryo terhadap kemerdekaan Indonesia yang saat itu masih dibayang-bayangi kehadiran Belanda.
Kartosuwiryo bersama dengan Panglima Laskar Sabilillah dan Raden Oni Syahroni bersama-sama tidak menyetujui isi Perjanjian Renville yang ditandatangani pihak Indonesia dengan Belanda.
Sebab, mereka menganggap isi perjanjian tersebut tidak melindungi warga Jawa Barat.
Kartosuwiryo kemudian mengubah penolakannya tersebut dengan membentuk negara Islam, yaitu Negara Islam Indonesia (NII) yang ia pimpin sendiri.
Tidak disangka, tindakan yang dilakukan Kartosuwiryo ini semakin lama semakin membesar. Terutama setelah ia membentuk Tentara Islam Indonesia (TII).
Tujuan dibentuknya TII adalah untuk memerangi pasukan TNI agar bisa memisahkan diri dari Indonesia.