Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suherman
Analis Data Ilmiah BRIN

Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat ASEAN, Peraih medali emas CONSAL Award

Hamka: Menjadi Adicerita Indonesia karena Membaca (Bagian III - Habis)

Kompas.com - 07/05/2023, 17:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tulisannya bukan berupa pendapat yang mendalam dan argumentatif secara khusus, akan tetap melahirkan wacana yang meluas, mungkin ini karena dia seorang otodidak sehingga kaya akan dimensi dan ilustrasi dari pengalaman, pemikiran, dan penderitaannya sendiri.

Tentu saja semua itu dia bingkai dengan rujukan dari sumber utama, yaitu Al-Quran dan Hadits. Ramuan filsafat, agama, sastra tasawuf, dan sejarah menyatu dalam tulisan-tulisannya.

Hamka adalah seorang ulama yang berpikiran bebas dan juga membebaskan umat supaya berpikir bebas.

Pada zamannya, dan saya kira juga sampai hari ini, banyak orang yang dianggap ulama kemudian memonopoli ilmu dan mengklaim dirinya paling tahu soal agama dan terkadang dianggap paling dekat dengan Tuhan sehingga banyak umat atau orang awam mengikuti pendapat mereka secara membabi buta, tanpa mempertanyakannya.

Dalam bahasa Arab sikap seperti itu disebut dengan taklid. Bagi Hamka taklid adalah kesalahan besar.

Hamka menganalogikan ulama-ulama yang mengajarkan taklid dengan keledai yang mengangkut kitab tanpa mengerti isinya atau tanpa mengerti bahwa yang diangkutnya adalah kitab.

Dia juga menyindir umat yang tidak mau bertanya dengan sebutan “Pak Taklid” atau “Pak Turut”.

Dengan mengutip sabda Nabi, Hamka mengatakan bahwa kebodohan adalah “perbudakan yang lebih kejam dari segala macam perbudakan.”

Hamka sangat mengagumi pemikiran Ibnu Taimiyah yang mengilhami pemahaman keagamaan modern yang rasional yang mengajarkan bahwa supaya Islam bangkit kembali, Muslim harus menjadi seorang rasionalis yang mengerahkan akal yang diberikan oleh Allah.

Sang otodidak tanpa sertifikat atau ijazah formal yang dimilikinya telah melahirkan begitu banyak karya. Namanya diabadikan dalam sebuah universitas, Universitas Prof. Dr. Hamka dan pesantren sebagai bentuk penghargaan kepadanya.

Dan yang paling penting adalah namanya akan abadi dalam sanubari bangsa Indonesia yang rindu akan pembaharuan dan kebesaran bangsa.

Setelah menetap di Jakarta dan memiliki pekerjaan tetap, Hamka memiliki kebiasaan datang ke kantor pagi-pagi sekali, menulis pada tengah hari.

Dia menghadap mesin ketik dengan tumpukan sumber referensi terpercaya di sekelilingnya, lalu mengetik dengan cepat menggunakan empat jari, karena Hamka belajar mengetik juga dengan otodidak.

Dia memiliki keahlian menulis dengan cepat yang tentu saja sangat menunjang produktivitasnya. Semua dia pelajari secara otodidak alias belajar sendiri dengan instrumen utamanya, yaitu membaca.

Hamka adalah manusia pembaca sepanjang hayatnya. Karena pada hakikatnya membaca buku adalah belajar dari seorang guru yang tidak hadir secara fisik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com